BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1 (UU No. 20 Tahun
2000)
Dalam
Undang-undang ini, yang dimaksud dengan:
1.
|
Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
|
2.
|
Perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi
atau badan.
|
3.
|
Hak atas
tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta
bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
|
4.
|
Surat Tagihan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk melakukan tagihan
pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau
denda.
|
5.
|
Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar adalah surat
ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan
pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih
harus dibayar.
|
6.
|
Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan adalah
surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan.
|
7.
|
Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar adalah surat
ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah pajak
yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya
terutang.
|
8.
|
Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat ketetapan
yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah pajak
yang dibayar.
|
9.
|
Surat Setoran
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas
negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan
Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan.
|
10.
|
Surat
Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis,
kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
|
11.
|
Surat
Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang diajukan oleh
Wajib Pajak.
|
12.
|
Putusan
Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
13.
|
Menteri
adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
|
Penjelasan Pasal 1
Cukup
jelas.
BAB
II
OBJEK
PAJAK
Pasal 2 (UU No. 20 Tahun
2000)
(1)
|
Yang menjadi
objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan.
| ||
(2)
|
Perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi:
| ||
a.
|
pemindahan
hak karena:
| ||
1.
|
jual
beli;
| ||
2.
|
tukar-menukar;
| ||
3.
|
hibah;
| ||
4.
|
hibah
wasiat;
| ||
5.
|
waris;
| ||
6.
|
pemasukan
dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
| ||
7.
|
pemisahan hak
yang mengakibatkan peralihan;
| ||
8.
|
penunjukan
pembeli dalam lelang;
| ||
9.
|
pelaksanaan
putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
| ||
10.
|
penggabungan
usaha;
| ||
11.
|
peleburan
usaha;
| ||
12.
|
pemekaran
usaha;
| ||
13.
|
hadiah.
| ||
b.
|
pemberian hak
baru karena:
| ||
1.
|
kelanjutan
pelepasan hak;
| ||
2.
|
di luar
pelepasan hak.
| ||
(3)
|
Hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
| ||
a.
|
hak
milik;
| ||
b.
|
hak guna
usaha;
| ||
c.
|
hak guna
bangunan;
| ||
d.
|
hak
pakai;
| ||
e.
|
hak milik
atas satuan rumah susun;
| ||
f.
|
hak
pengelolaan.
|
Penjelasan Pasal 2
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Huruf
a
Angka
1)
Cukup
jelas.
Angka
2)
Cukup
jelas.
Angka
3)
Cukup
jelas.
Angka
4)
Hibah
wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas
tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang
berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
Angka
5)
Cukup
jelas.
Angka
6)
Yang
dimaksud dengan pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada
Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada
Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.
Angka
7)
Pemisahan
hak yang mengakibatkan peralihan adalah pemindahan sebagian hak bersama atas
tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak
bersama.
Angka
8)
Penunjukan
pembeli dalam lelang adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang
sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
Angka
9)
Sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum
sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim
tersebut.
Angka 10)
Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau
lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan
melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.
Angka
11)
Peleburan
usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan
badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung
tersebut.
Angka
12)
Pemekaran
usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih
dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan
pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan
usaha yang lama.
Angka
13)
Hadiah
adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan
yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima
hadiah.
Huruf
b
Angka 1)
Yang
dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah
pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah
yang berasal dari pelepasan hak.
Angka
2)
Yang
dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak
baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari
pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Ayat
(3)
Huruf
a
Hak milik
adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
Huruf
b
Hak guna
usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang
berlaku.
Huruf
c
Hak guna
bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah
yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria.
Huruf
d
Hak pakai
adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Huruf
e
Hak milik
atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan
dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
Huruf
f
Hak
pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan
peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan
tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan
atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
Pasal 3 (UU No. 20 Tahun
2000)
(1)
|
Objek pajak
yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek
pajak yang diperoleh:
| |
a.
|
perwakilan
diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal
balik;
| |
b.
|
Negara untuk
penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum;
| |
c.
|
badan atau
perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar
fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
| |
d.
|
orang pribadi
atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak
adanya perubahan nama;
| |
e.
|
orang pribadi
atau badan karena wakaf;
| |
f.
|
orang pribadi
atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
| |
(2)
|
Objek pajak
yang diperoleh karena waris, hibah wasiat, dan pemberian hak pengelolaan
pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
Penjelasan Pasal 3
Ayat
(1)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan
pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum adalah
tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan
baik Pemerintah
Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak
ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang
digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan
umum.
Huruf
c
Badan atau
perwakilan organisasi internasional yang dimaksud dalam pasal ini adalah badan
atau perwakilan organisasi internasional, baik pemerintah maupun non pemerintah.
Huruf
d
Yang
dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru
menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh
Pemerintah.
Contoh:
1.
|
Hak Guna
Bangunan menjadi Hak Milik tanpa adanya perubahan nama;
|
2.
|
Bekas
tanah hak milik adat (dengan bukti surat Girik atau sejenisnya) menjadi hak
baru.
|
Yang
dimaksud dengan perbuatan hukum lain misalnya memperpanjang hak atas tanah tanpa
adanya perubahan nama.
Contoh:
Perpanjangan Hak Guna Bangunan
(HGB), yang dilaksanakan baik sebelum maupun setelah berakhirnya
HGB.
Huruf
e
Yang
dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan
sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan
dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau
kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.
Huruf f
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Pokok-pokok muatan Peraturan
Pemerintah tersebut antara lain berisi tata cara menghitung besarnya Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas objek pajak yang diperoleh karena
waris.
BAB
III
SUBJEK
PAJAK
Pasal 4 (UU No. 21 Tahun
1997)
(1)
|
Yang menjadi
subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
atau bangunan.
|
(2)
|
Subjek pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak
menjadi Wajib Pajak menurut Undang-undang
ini.
|
Penjelasan Pasal 4
Cukup
jelas.
BAB
IV
TARIF
PAJAK
Pasal 5 (UU No. 21 Tahun
1997)
Tarif pajak
ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
Penjelasan Pasal 5
Cukup
jelas.
BAB
V
DASAR
PENGENAAN DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK
Pasal 6 (UU No. 20 Tahun
2000)
(1)
|
Dasar
pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.
| |
(2)
|
Nilai
Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dalam
hal:
| |
a.
|
jual beli
adalah harga transaksi;
| |
b.
|
tukar-menukar
adalah nilai pasar;
| |
c.
|
hibah adalah
nilai pasar;
| |
d.
|
hibah wasiat
adalah nilai pasar;
| |
e.
|
waris adalah
nilai pasar;
| |
f.
|
pemasukan
dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai
pasar;
| |
g.
|
pemisahan hak
yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
| |
h.
|
peralihan hak
karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah
nilai pasar;
| |
i.
|
pemberian hak
baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai
pasar;
| |
j.
|
pemberian hak
baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
| |
k.
|
penggabungan
usaha adalah nilai pasar;
| |
l.
|
peleburan
usaha adalah nilai pasar;
| |
m.
|
pemekaran
usaha adalah nilai pasar;
| |
n.
|
hadiah adalah
nilai pasar;
| |
o.
|
penunjukan
pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah
Lelang.
| |
(3)
|
Apabila Nilai
Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sampai dengan
n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang
digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak
Pajak Bumi dan Bangunan.
| |
(4)
|
Apabila Nilai
Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
belum ditetapkan, besarnya Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan
ditetapkan oleh Menteri.
|
Penjelasan Pasal 6
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati
oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Huruf
f
Cukup
jelas.
Huruf
g
Cukup
jelas.
Huruf
h
Cukup
jelas.
Huruf
i
Cukup
jelas.
Huruf
j
Cukup
jelas.
Huruf
k
Cukup
jelas.
Huruf
l
Cukup
jelas.
Huruf
m
Cukup
jelas.
Huruf
n
Cukup
jelas.
Huruf
o
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Contoh:
Wajib
Pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (harga
transaksi) Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Nilai Jual
Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan tersebut yang digunakan dalam pengenaan
Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta
rupiah), maka yang dipakai sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan adalah Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) dan bukan
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal 7 (UU No. 20 Tahun
2000)
(1)
|
Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena
waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
(2)
|
Ketentuan
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
|
Penjelasan Pasal 7
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara
regional adalah penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk
masing-masing Kabupaten/Kota.
Contoh:
1.
|
Pada
tanggal 1 Februari 2001, Wajib Pajak “A” membeli tanah yang terletak di
Kabupaten “AA” dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah). Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk
perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi
yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk
suami/istri, untuk Kabupaten “AA” ditetapkan sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah). Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan
hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
|
2.
|
Pada
tanggal 1 Februari 2001, Wajib Pajak “B” membeli tanah dan bangunan yang
terletak di Kabupaten “AA” dengan NPOP Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
NPOPTKP untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah
wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten “AA” ditetapkan sebesar
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak
Kena Pajak (NPOPKP) adalah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dikurangi
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) sama dengan Rp40.000.000,00 (empat
puluh juta rupiah), maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan.
|
3.
|
Pada
tanggal 2 Maret 2001, Wajib Pajak “C” mendaftarkan warisan berupa tanah dan
bangunan yang terletak di Kota “BB” dengan NPOP Rp400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah). NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk Kota “BB”
ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Besarnya NPOPKP
adalah Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dikurangi Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) sama dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah),
maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
|
4.
|
Pada
tanggal 2 Februari 2001, Wajib Pajak orang pribadi “D” mendaftarkan hibah wasiat
dari orang tua kandung, sebidang tanah yang terletak di Kota “BB” dengan NPOP
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) NPOPTKP untuk perolehan hak
karena hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kota
“BB” ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Mengingat
NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak
terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
|
Ayat
(2)
Pokok-pokok muatan Peraturan
Pemerintah tersebut, antara lain:
1.
|
NPOPTKP
ditetapkan untuk masing-masing Kabupaten/Kota dengan memperhatikan usulan
Pemerintah Daerah;
|
2.
|
NPOPTKP
dapat diubah dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian
regional.
|
Pasal 8 (UU No. 21 Tahun
1997)
(1)
|
Nilai
Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak dikurangi
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak.
|
(2)
|
Besarnya
pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak Kena Pajak.
|
Penjelasan Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Wajib
Pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengan
Nilai
Perolehan Objek Pajak ………………………………………
|
Rp35.000.000,00
|
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak …………………
|
Rp30.000.000,00 (-)
|
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak…………………………
|
Rp
5.000.000,00
|
Pajak yang
terutang = 5% x Rp5.000.000,00 = Rp250.000,00
|
BAB
VI
SAAT DAN
TEMPAT PAJAK YANG TERUTANG
Pasal 9 (UU No. 20 Tahun
2000)
(1)
|
Saat terutang
pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
untuk:
| |
a.
|
jual beli
adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
| |
b.
|
tukar-menukar
adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
| |
c.
|
hibah adalah
sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
| |
d.
|
waris adalah
sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor
Pertanahan;
| |
e.
|
pemasukan
dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
| |
f.
|
pemisahan hak
yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
| |
g.
|
lelang adalah
sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;
| |
h.
|
putusan hakim
adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang
tetap;
| |
i.
|
hibah wasiat
adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor
Pertanahan;
| |
j.
|
pemberian hak
baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal
ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian
hak;
| |
k.
|
pemberian hak
baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
| |
l.
|
penggabungan
usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
| |
m.
|
peleburan
usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
| |
n.
|
pemekaran
usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
| |
o.
|
hadiah adalah
sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.
| |
(2)
|
Pajak yang
terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
| |
(3)
|
Tempat
terutang pajak adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi
letak tanah dan atau bangunan.
|
Penjelasan Pasal 9
Ayat
(1)
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta dalam pasal ini
adalah tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta pemindahan hak di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Huruf
f
Cukup
jelas.
Huruf
g
Yang
dimaksud dengan sejak tanggal penunjukan pemenang lelang adalah tanggal
ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau kantor
lelang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
memuat antara lain nama pemenang lelang.
Huruf
h
Cukup
jelas.
Huruf
i
Cukup
jelas.
Huruf
j
Cukup
jelas.
Huruf
k
Cukup
jelas.
Huruf
l
Cukup
jelas.
Huruf
m
Cukup
jelas.
Huruf
n
Cukup
jelas.
Huruf
o
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
BAB
VII
PEMBAYARAN,
PENETAPAN, DAN PENAGIHAN
Pasal 10 (UU No. 20 Tahun
2000)
(1)
|
Wajib Pajak
wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat
ketetapan pajak.
|
(2)
|
Pajak yang
terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha
Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang
ditunjuk oleh Menteri dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
|
(3)
|
Tata cara
pembayaran pajak diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri.
|
Penjelasan Pasal 10
Ayat
(1)
Sistem
pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah self assessment
dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri
pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan, dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat
ketetapan pajak.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal 11 (UU No. 21 Tahun
1997)
(1)
|
Dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak
dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata
jumlah pajak yang terutang kurang dibayar.
|
(2)
|
Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya
pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan Kurang Bayar.
|
Penjelasan Pasal 11
Ayat (1)
Menurut ketentuan ini bilamana berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar, Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan Kurang Bayar.
Ayat (2)
Contoh:
Wajib Pajak memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal 29 Maret
1998.
Nilai
Perolehan Objek Pajak ……………………………………………………
|
Rp110.000.000,00
|
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
………………………………
|
Rp
30.000.000,00 (-)
|
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena
Pajak………………………………………
|
Rp
80.000.000,00
|
Pajak yang
terutang = 5% x Rp80.000.000,00 = Rp4.000.000,00
|
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 30 Desember
1998, ternyata ditemukan data yang belum lengkap yang menunjukkan bahwa Nilai
Perolehan Objek Pajak sebenarnya adalah Rp160.000.000,00 maka pajak yang
seharusnya terutang adalah sebagai berikut:
Nilai
Perolehan Objek Pajak ……………………………………………………
|
Rp160.000.000,00
|
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
………………………………
|
Rp
30.000.000,00 (-)
|
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena
Pajak………………………………………
|
Rp130.000.000,00
|
Pajak yang
seharusnya terutang = 5% x Rp130.000.000,00 =
|
Rp
6.500.000,00
|
Pajak yang
telah dibayar ………………………………………………………
|
Rp
4.000.000,00 (-)
|
Pajak yang
kurang dibayar ……………………………………………………
|
Rp
2.500.000,00
|
Sanksi administrasi berupa bunga dari 29 Maret 1998 sampai dengan 30
Desember 1998
= 10 x 2% x Rp2.500.000,00 = Rp500.000,00
Jadi, jumlah pajak yang harus dibayar sebesar
Rp2.500.000,00 + Rp500.000,00 = Rp3.000.000,00
Pasal 12 (UU No. 21 Tahun
1997)
(1)
|
Dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak
dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar Tambahan apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula
belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang
Bayar.
|
(2)
|
Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut, kecuali Wajib Pajak melaporkan
sendiri sebelum dilakukan tindakan
pemeriksaan.
|
Penjelasan Pasal 12
Ayat (1)
Contoh sebagaimana disebut dalam penjelasan Pasal 11 ayat (2), 5
(lima) tahun kemudian, yaitu pada tahun pajak 2003, kepada Wajib Pajak yang
bersangkutan dapat diterbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar Tambahan dalam hal ditemukan data baru atau data yang
semula belum terungkap berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain yang
mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
Penerbitan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar Tambahan paling lama 5 (lima) tahun setelah saat
terutangnya pajak yaitu 29 Maret 2003, dan bukan 30 Desember
2003.
Ayat (2)
Contoh:
Pada tahun pajak 2003, dari hasil pemeriksaan atau keterangan lain
diperoleh data baru bahwa nilai perolehan objek pajak sebagaimana tersebut dalam
penjelasan Pasal 11 ayat (2) ternyata adalah Rp200.000.000,00 maka pajak yang
seharusnya terutang adalah sebagai berikut:
Nilai
Perolehan Objek Pajak ……………………………………………………
|
Rp200.000.000,00
|
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
………………………………
|
Rp
30.000.000,00 (-)
|
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena
Pajak………………………………………
|
Rp170.000.000,00
|
Pajak yang
seharusnya terutang = 5% x Rp170.000.000,00 =
|
Rp
8.500.000,00
|
Pajak yang
telah dibayar ………………………………………………………
|
Rp
6.500.000,00 (-)
|
Pajak yang
kurang dibayar ……………………………………………………
|
Rp
2.000.000,00
|
Sanksi administrasi berupa kenaikan = 100% x Rp2.000.000,00 =
Rp2.000.000,00
Jadi, jumlah pajak yang harus dibayar sebesar
Rp2.000.000,00 + Rp2.000.000,00 = Rp4.000.000,00
Pasal 13 (UU No. 21 Tahun
1997)
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan apabila:
| |
a.
|
pajak yang
terutang tidak atau kurang dibayar;
| |
b.
|
dari hasil
pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terdapat
kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah
hitung;
| |
c.
|
Wajib Pajak
dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.
| |
(2)
|
Jumlah pajak
yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam Surat Tagihan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf
b ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan
untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya
pajak.
| |
(3)
|
Surat Tagihan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan
pajak.
|
Penjelasan Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud pemeriksaan pada ayat ini adalah pemeriksaan
kantor.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang diterbitkan
karena:
a.
|
pajak yang
terutang tidak atau kurang dibayar;
|
b.
|
pemeriksaan Surat Setoran Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menghasilkan pajak kurang dibayar
karena terdapat salah tulis dan atau salah
hitung.
|
Contoh:
1.
|
Pajak yang
terutang tidak atau kurang dibayar.
Dari
perolehan tanah dan bangunan pada tanggal 21 September 1998, Wajib Pajak “A”
terutang pajak sebesar Rp5.000.000,00. Pada saat terjadinya perolehan tersebut,
pajak dibayar sebesar Rp4.000.000,00. Atas kekurangan pajak tersebut diterbitkan
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tanggal 23 Desember 1998
dengan penghitungan sebagai berikut:
| |
Kekurangan
bayar …………………………………………………
|
Rp1.000.000,00
| |
Bunga = 4
x 2% x Rp1.000.000,00 = ……………………………
|
Rp
80.000,00
(+)
| |
Jumlah
yang harus dibayar dalam Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
……………………
|
Rp1.080.000,00
| |
2.
|
Hasil pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
Wajib
Pajak “B” memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal 18 Juni 1998. Berdasarkan
pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
disampaikan Wajib Pajak “B”, ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan
pajak kurang dibayar sebesar Rp1.500.000,00. Atas kekurangan pajak tersebut
diterbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan pada tanggal
23 September 1998 dengan penghitungan sebagai berikut:
| |
Kekurangan
bayar …………………………………………………
|
Rp1.500.000,00
| |
Bunga = 4
x 2% x Rp1.500.000,00 = ……………………………
|
Rp
120.000,00
(+)
| |
Jumlah
yang harus dibayar dalam Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan ……………………
|
Rp1.620.000,00
|
Ayat (3)
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dipersamakan
kekuatan hukumnya dengan surat ketetapan pajak, sehingga penagihannya dapat
dilanjutkan dengan penerbitan Surat Paksa.
Pasal 14 (UU No. 21 Tahun
1997)
(1)
|
Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat
Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan
pajak.
|
(2)
|
Pajak yang
terutang berdasarkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang
Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh Wajib
Pajak.
|
(3)
|
Tata cara
penagihan pajak diatur dengan Keputusan
Menteri.
|
Penjelasan Pasal 14
Ayat (1)
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang
Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan sarana
administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan
pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15 (UU No. 21 Tahun
1997)
Jumlah pajak
yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan,
dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang tidak atau
kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Penjelasan Pasal 15
Yang
dimaksud dengan Surat Paksa adalah surat perintah membayar pajak dan tagihan
yang berkaitan dengan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB
VIII
KEBERATAN,
BANDING, DAN PENGURANGAN
Pasal 16 (UU No. 21 Tahun
1997)
(1)
|
Wajib Pajak
dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas
suatu:
| |
a.
|
Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang
Bayar;
| |
b.
|
Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan;
| |
c.
|
Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih
Bayar;
| |
d.
|
Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil.
| |
(2)
|
Keberatan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak
yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang
jelas.
| |
(3)
|
Keberatan
harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterimanya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang
Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang
Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil
oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak
dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di
luar kekuasaannya.
| |
(4)
|
Keberatan
yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak
dipertimbangkan.
| |
(5)
|
Tanda
penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak
yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos
tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi
kepentingan Wajib Pajak.
| |
(6)
|
Apabila
diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal
Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar
pengenaan pajak.
| |
(7)
|
Pengajuan
keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan
pajak.
|
Penjelasan Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan alasan-alasan yang jelas adalah mengemukakan
dengan data atau bukti bahwa jumlah pajak yang terutang atau pajak lebih bayar
yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar.
Ayat (3)
Pengertian di luar kekuasaannya adalah keterlambatan Wajib Pajak
mengajukan keberatan yang bukan karena kesalahannya, misalnya, Wajib Pajak
sedang sakit atau kena musibah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Tanda bukti penerimaan Surat Keberatan sangat diperlukan untuk
memenuhi ketentuan formal.
Diterima atau tidaknya hak mengajukan Surat Keberatan dimaksud,
tergantung dipenuhinya ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
yang dihitung mulai diterbitkannya surat ketetapan pajak sampai saat diterimanya
Surat Keberatan tersebut oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Tanda bukti penerimaan tersebut oleh Wajib Pajak dapat juga digunakan
sebagai alat kontrol baginya untuk mengetahui sampai kapan batas waktu 12 (dua
belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
berakhir.
Tanda bukti penerimaan itu diperlukan untuk memastikan bahwa
keberatannya dikabulkan, apabila dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak tidak
menerima surat keputusan dari Direktur Jenderal Pajak atas Surat Keberatan yang
diajukan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 17 (UU No. 21 Tahun
1997)
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang
diajukan.
|
(2)
|
Sebelum surat
keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau
penjelasan tertulis.
|
(3)
|
Keputusan
Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau
sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang
terutang.
|
(4)
|
Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut
dianggap dikabulkan.
|
Penjelasan Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam keputusan keberatan tidak tertutup kemungkinan utang pajaknya
bertambah berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain karena ada data
baru yang tadinya belum terungkap atau belum dilaporkan.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum baik bagi
Wajib Pajak maupun fiskus dan dalam rangka tertib administrasi, yaitu apabila
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diterimanya Surat
Keberatan, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan atas keberatan
yang diajukan, berarti keberatan tersebut dikabulkan.
Pasal 18 (UU No. 20 Tahun
2000)
(1)
|
Wajib Pajak
dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap
keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak
|
(2)
|
Permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan surat
keputusan tersebut.
|
(3)
|
Pengajuan
permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak.
|
Penjelasan Pasal 18
Cukup
jelas.
Pasal 19 (UU No. 20 Tahun
2000)
Apabila
pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya,
kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2%
(dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak
sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
Penjelasan Pasal 19
Cukup
jelas.
Pasal 20 (UU No. 20 Tahun
2000)
(1)
|
Atas
permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan oleh
Menteri karena:
| |
a.
|
kondisi
tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak,
atau
| |
b.
|
kondisi Wajib
Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu,
atau
| |
c.
|
tanah dan
atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang
semata-mata tidak untuk mencari keuntungan.
| |
(2)
|
Ketentuan
mengenai pemberian pengurangan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
|
Penjelasan Pasal 20
Ayat
(1)
Huruf
a
Kondisi
tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak, contoh:
1.
|
Wajib
Pajak tidak mampu secara ekonomis yang memperoleh hak baru melalui program
pemerintah di bidang pertanahan;
|
2.
|
Wajib
Pajak pribadi menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke
bawah.
|
Huruf
b
Kondisi
Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu,
contoh:
1.
|
Wajib
Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi
pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek
Pajak;
|
2.
|
Wajib
Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang
dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan
khusus;
|
3.
|
Wajib
Pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada
kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan
restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan
pemerintah.
|
Huruf
c
Contoh:
Tanah dan
atau bangunan yang digunakan, antara lain, untuk panti asuhan, panti jompo,
rumah yatim piatu, pesantren, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan,
rumah sakit swasta institusi pelayanan sosial masyarakat.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
BAB
IX
PENGEMBALIAN
KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pasal 21 (UU No. 21 Tahun
1997)
(1)
|
Wajib Pajak
dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak kepada
Direktur Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan
keputusan.
|
Penjelasan Pasal 21
Ayat (1)
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak, antara lain, dalam hal:
a.
|
pajak yang
dibayar lebih besar daripada yang seharusnya terutang;
|
b.
|
pajak yang
terutang yang dibayarkan oleh Wajib Pajak sebelum akta ditandatangani, namun
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut
batal.
|
Ayat (2)
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dapat berupa kurang bayar dengan menerbitkan Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar atau berupa
lebih bayar dengan menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Lebih Bayar atau mengukuhkan pajak yang terutang tetap dengan
menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Nihil.
Pasal 22 (UU No. 21 Tahun
1997)
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan
menerbitkan:
| |
a.
|
Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, apabila jumlah
pajak yang dibayar ternyata lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau
dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang;
| |
b.
|
Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, apabila jumlah pajak
yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang.
| |
(2)
|
Apabila dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) telah terlampaui dan
Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan, permohonan kelebihan pembayaran
pajak dianggap dikabulkan serta Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Lebih Bayar harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu)
bulan.
| |
(3)
|
Pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Lebih Bayar.
| |
(4)
|
Apabila
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 2
(dua) bulan, Direktur Jenderal Pajak memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran
pajak.
| |
(5)
|
Tata cara
pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan Keputusan
Menteri.
|
Penjelasan Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemeriksaan adalah:
a.
|
pemeriksaan
kantor;
|
b.
|
pemeriksaan
lapangan.
|
Ayat (2)
Ayat ini memberikan kepastian hukum baik kepada Wajib Pajak maupun
fiskus dan dalam rangka tertib administrasi perpajakan. Oleh karena itu,
permohonan kelebihan pembayaran pajak yang diajukan oleh Wajib Pajak harus
diberi keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
BAB
X
PEMBAGIAN
HASIL PENERIMAAN PAJAK
Pasal 23 (UU No. 20 Tahun
2000)
(1)
|
Penerimaan
negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20%
(dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk
Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
|
(1a)
|
Bagian
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagikan kepada seluruh
Pemerintah Kabupaten/Kota secara merata.
|
(2)
|
Bagian
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi dengan imbangan 20%
(dua puluh persen) untuk Pemerintah Propinsi yang bersangkutan dan 80% (delapan
puluh persen) untuk Pemerintah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan.
|
(3)
|
Tata cara
pembagian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (1a), dan ayat (2) diatur
dengan Keputusan Menteri.
|
Penjelasan Pasal 23
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(1a)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Bagian
Daerah dibagi dengan perincian sebagai berikut:
a.
|
bagian
Propinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen), atau 20% (dua puluh
persen) dari 80% (delapan puluh persen);
|
b.
|
bagian
Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebesar 64% (enam puluh empat persen), atau 80%
(delapan puluh persen) dari 80% (delapan puluh
persen).
|
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
BAB
XI
KETENTUAN
BAGI PEJABAT
Pasal 24 (UU No. 20 Tahun
2000)
(1)
|
Pejabat
Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas
tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak
berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
|
(2)
|
Pejabat
Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak
berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
|
(2a)
|
Pejabat yang
berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas
tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud pada
saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
|
(3)
|
Terhadap
pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat
dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan.
|
Penjelasan Pasal 24
Ayat
(1)
Penyerahan
bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotokopi pembayaran pajak
(Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) dan menunjukkan
aslinya.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud Pejabat Lelang Negara adalah Pejabat Lelang pada Kantor Lelang Negara
Kelas I dan Pejabat Lelang Kelas II.
Ayat
(2a)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Yang
dimaksud pendaftaran peralihan hak atas tanah adalah pendaftaran hak atas tanah
pada buku tanah yang terjadi karena pemindahan hak atas tanah.
Pasal 25 (UU No. 21 Tahun
1997)
(1)
|
Pejabat
Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan
akta atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada
Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya.
|
(2)
|
Tata cara
pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
|
Penjelasan Pasal 25
Ayat (1)
Contoh:
Semua peralihan hak pada
bulan Januari 1998 oleh Pejabat yang bersangkutan harus
dilaporkan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan Februari 1998 kepada Direktorat
Jenderal Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26 (UU No. 20 Tahun
2000)
(1)
|
Pejabat
Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi
administrasi dan denda sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu
rupiah) untuk setiap pelanggaran.
|
(2)
|
Pejabat
Pembuat Akta Tanah/Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp250.000,00
(dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
|
(2a)
|
Pejabat yang
berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas
tanah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2a),
dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
|
(3)
|
Pejabat
Pertanahan Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (3), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
|
(3a)
|
Kepala Kantor
Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(1), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
|
(4)
|
Dihapus.
|
Penjelasan Pasal 26
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(2a)
Peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi pejabat dalam pasal ini, antara lain,
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(3a)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Dihapus.
BAB
XII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 27 (UU No. 21 Tahun
1997)
Dengan
berlakunya Undang-undang ini, Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291
dengan segala perubahannya sepanjang mengenai pungutan Bea Balik Nama atas
pemindahan harta tetap yang berupa tanah dan atau bangunan, dinyatakan tidak
berlaku.
Penjelasan Pasal 27
Cukup
jelas.
Pasal 27A (UU No. 20 Tahun
2000)
Terhadap
hal-hal yang tidak diatur dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam
Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Penjelasan Pasal 27A
Cukup
jelas.
Pasal 27B (UU No. 20
Tahun 2000)
Dengan
berlakunya Undang-undang ini, peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun
1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang diberlakukan dengan
Undang-Undang Nomor 1 TAHUN 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 TAHUN 1997 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Menjadi Undang-undang, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan
belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang
ini
Penjelasan Pasal 27B
Cukup
jelas.
Catatan
:
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
(sesuai dengan bunyi Pasal III Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar