BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 (UU No. 10 Tahun
1994)
Pajak
Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak.
Penjelasan Pasal 1 (UU No. 36 Tahun
2008)
Undang-Undang ini mengatur
pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan
yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut
dikenai pajak apabila menerima atau
memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan,
dalam Undang-Undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak
dikenai pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak
untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya
dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Yang
dimaksud dengan “tahun pajak” dalam Undang-Undang ini adalah
tahun kalender, tetapi Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun kalender, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12
(dua belas) bulan.
BAB II
SUBJEK PAJAK
SUBJEK PAJAK
Pasal 2 (UU No. 36 Tahun
2008)
(1)
|
Yang menjadi
Subjek Pajak adalah :
| ||
a.
|
1.
|
orang
pribadi;
| |
2.
|
warisan yang
belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
| ||
b.
|
badan; dan
| ||
c.
|
bentuk usaha
tetap.
| ||
(1a)
|
Bentuk usaha
tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan
subjek pajak badan.
| ||
(2)
|
Subjek pajak
dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
| ||
(3)
|
Subjek pajak dalam negeri adalah:
| ||
a.
|
orang pribadi
yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
| ||
b.
|
badan yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari
badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
| ||
1.
|
pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
| ||
2.
|
pembiayaannya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah;
| ||
3.
|
penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan
| ||
4.
|
pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara;
dan
| ||
c.
|
warisan yang
belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
| ||
(4)
|
Subjek pajak
luar negeri adalah :
| ||
a.
|
orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
| ||
b.
|
orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.
| ||
(5)
|
Bentuk usaha
tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang
dapat berupa :
| ||
a.
|
tempat
kedudukan manajemen;
| ||
b.
|
cabang
perusahaan;
| ||
c.
|
kantor
perwakilan;
| ||
d.
|
gedung
kantor;
| ||
e.
|
pabrik;
| ||
f.
|
bengkel;
| ||
g.
|
gudang;
| ||
h.
|
ruang untuk
promosi dan penjualan;
| ||
i.
|
pertambangan dan penggalian sumber alam;
| ||
j.
|
wilayah kerja
pertambangan minyak dan gas bumi;
| ||
k.
|
perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau
kehutanan;
| ||
l.
|
proyek
konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
| ||
m.
|
pemberian
jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan
lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan;
| ||
n.
|
orang
atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas;
| ||
o.
|
agen atau
pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia; dan
| ||
p.
|
komputer,
agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui
internet.
| ||
(6)
|
Tempat
tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.
|
Penjelasan Pasal
2
Ayat (1)
Huruf a
Orang
pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia
ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli
waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti
dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan
tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Huruf b
Badan
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha
tetap.
Badan
usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak tanpa
memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan
Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak.
Dalam
pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau
ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Huruf c
Cukup
jelas.
Ayat
(1a)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Subjek
pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah
menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak
Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat
didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik
orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang
pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak orang
pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Perbedaan
yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri
terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
a.
|
Wajib
Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar
negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan
di Indonesia.
|
b.
|
Wajib
Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum,
sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto
dengan tarif pajak sepadan; dan
|
c.
|
Wajib
Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu
tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi
melalui pemotongan pajak yang bersifat
final.
|
Bagi Wajib
Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum
dan tata cara perpajakan.
Ayat (3)
Huruf a
Pada
prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang
pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam
pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut
keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah
hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan
sejak kedatangannya di Indonesia.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek
pajak dalam negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dalam pengertian
Undang-Undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan
kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang
berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih
kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai
subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subjek
pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.
Ayat (4)
Huruf a dan
huruf b
Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat
tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk
usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar
negeri.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap
maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui bentuk
usaha tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek
pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan
orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima
atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya
dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut.
Ayat (5)
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha
(place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk
juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau
peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha
melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan
selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama
orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat
kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat
dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau
badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan
agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau
perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka
menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar
Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan
asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung
risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko
tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak
tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Ayat (6)
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi
pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
tersebut.
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat
tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang
bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak
dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut,
antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat
menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk
memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Pasal 2A (UU No. 10 Tahun
1994)
(1)
|
Kewajiban
pajak subjektif orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf
a dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat
untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
|
(2)
|
Kewajiban
pajak subjektif badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dimulai pada saat badan
tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat
dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di
Indonesia.
|
(3)
|
Kewajiban
pajak subjektif orang
pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) huruf a dimulai
pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dan berakhir pada saat
tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap.
|
(4)
|
Kewajiban
pajak subjektif orang
pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dimulai
pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh
penghasilan tersebut.
|
(5)
|
Kewajiban
pajak subjektif warisan
yang belum terbagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2)
dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir
pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
|
(6)
|
Apabila
kewajiban pajak subjektif orang
pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi
sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun
pajak.
|
Penjelasan Pasal
2A
Pajak
Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada
Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan
untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh karena itu dalam
rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya
kewajiban pajak subjektif menjadi penting.
Ayat (1)
Kewajiban pajak
subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai pada saat ia
lahir di Indonesia. Untuk orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
kewajiban pajak subjektifnya dimulai sejak hari pertama ia berada di Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir pada saat ia meninggal dunia
atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Pengertian
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya harus dikaitkan dengan hal-hal yang
nyata pada saat orang pribadi tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila pada saat
ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi
menjadi Subjek Pajak dalam negeri.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Bagi orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal dan berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap, kewajiban pajak subjektifnya
dimulai pada saat bentuk usaha tetap tersebut berada di Indonesia dan berakhir
pada saat bentuk usaha tetap tersebut tidak lagi berada di Indonesia.
Ayat (4)
Orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Subjek Pajak luar
negeri sepanjang orang pribadi atau badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis
dengan Indonesia. Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada apabila orang
pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal
dari sumber penghasilan di Indonesia.
Kewajiban
pajak subjektif orang pribadi atau badan tersebut dimulai pada saat orang
pribadi atau badan mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu menerima
atau memperoleh penghasilan dari sumber-sumber di Indonesia dan berakhir pada
saat orang pribadi atau badan tersebut tidak lagi mempunyai hubungan ekonomis
dengan Indonesia.
Ayat (5)
Kewajiban
pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya warisan
yang belum terbagi tersebut yaitu pada saat meninggalnya
pewaris. Sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada warisan
tersebut. Kewajiban pajak subjektif warisan berakhir pada saat warisan tersebut
dibagi kepada para ahli waris. Sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya
beralih kepada para ahli waris.
Ayat (6)
Dapat
terjadi orang pribadi menjadi Subjek Pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun
pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi Subjek Pajak pada
pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak
tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun
pajak.
Pasal 3 (UU No. 36 Tahun
2008)
(1)
|
Yang tidak
termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah
:
| ||
a.
|
kantor
perwakilan negara asing;
| ||
b.
|
pejabat-pejabat perwakilan
diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di
Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik;
| ||
c.
|
organisasi-organisasi internasional dengan syarat :
| ||
1.
|
Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
| ||
2.
|
tidak
menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran
para anggota;
| ||
d.
|
pejabat-pejabat perwakilan
organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan
warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan
lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
| ||
(2)
|
Organisasi
internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
3
Ayat (1)
Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing
beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat
lainnya, dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat mereka mewakili
negaranya.
Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak
berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau
mereka adalah Warga Negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing
memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya
tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas
penghasilan lain tersebut.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
BAB III
OBJEK PAJAK
OBJEK PAJAK
Pasal 4 (UU No. 36 Tahun
2008)
(1)
|
Yang menjadi
objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
termasuk:
| ||
a.
|
Penggantian
atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini;
| ||
b.
|
hadiah dari
undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
| ||
c.
|
laba usaha;
| ||
d.
|
keuntungan
karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
| ||
1.
|
keuntungan
karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal;
| ||
2.
|
keuntungan
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang
diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
| ||
3.
|
keuntungan
karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan
usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa
pun;
| ||
4.
|
keuntungan
karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang
diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan; dan
| ||
5.
|
keuntungan
karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda
turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan;
| ||
e.
|
penerimaan
kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak;
| ||
f.
|
bunga
termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
| ||
g.
|
dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
| ||
h.
|
royalti atau
imbalan atas penggunaan hak;
| ||
i.
|
sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
| ||
j.
|
penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
| ||
k.
|
keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
| ||
l.
|
keuntungan
selisih kurs mata uang asing;
| ||
m.
|
selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
| ||
n.
|
premi
asuransi;
| ||
o.
|
iuran yang
diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
| ||
p.
|
tambahan
kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
| ||
q.
|
penghasilan dari usaha berbasis syariah;
| ||
r.
|
imbalan bunga
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum
dan tata cara perpajakan; dan
| ||
s.
|
surplus Bank
Indonesia.
| ||
(2)
|
Penghasilan
di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final :
| ||
a.
|
penghasilan
berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi;
| ||
b.
|
penghasilan
berupa hadiah undian;
| ||
c.
|
penghasilan
dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal
ventura;
| ||
d.
|
penghasilan
dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan;
dan
| ||
e.
|
penghasilan
tertentu lainnya,
| ||
yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
| |||
(3)
|
Yang
dikecualikan dari objek pajak adalah :
| ||
a.
|
1.
|
bantuan atau
sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah; dan
| |
2.
|
harta hibahan
yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
| ||
sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan;
| |||
b.
|
warisan;
| ||
c.
|
harta
termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan
modal;
| ||
d.
|
penggantian
atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak
secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus
(deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
| ||
e.
|
pembayaran
dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
bea siswa;
| ||
f.
|
dividen atau
bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat :
| ||
1.
|
dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
dan
| ||
2.
|
bagi
perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
| ||
g.
|
iuran yang
diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
| ||
h.
|
penghasilan
dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g,
dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
| ||
i.
|
bagian laba
yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
| ||
j.
|
dihapus;
| ||
k.
|
penghasilan
yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
| ||
1.
|
merupakan
perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan; dan
| ||
2.
|
sahamnya
tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
| ||
l.
|
beasiswa yang
memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
| ||
m.
|
sisa lebih
yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan
| ||
n.
|
bantuan atau
santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib
Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
4
Ayat (1)
Undang-Undang ini menganut prinsip
pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak
dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau
menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian
penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari
sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran
terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul
biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan
pembangunan.
Dilihat
dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan
dapat dikelompokkan menjadi :
i.
|
penghasilan dari pekerjaan dalam
hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari
praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
|
ii.
|
penghasilan
dari usaha dan kegiatan;
|
iii.
|
penghasilan dari modal, yang berupa
harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan
keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha;
dan
|
iv.
|
penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
|
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan
dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka
semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak
digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila
dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian
tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal),
kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu
jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau
dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan
dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum.
Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan
untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas
pada contoh-contoh dimaksud.
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah,
gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi
kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk
natura yang pada hakikatnya merupakan penghasilan.
Huruf b
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan
kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan
lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan
sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan
dengan penemuan benda-benda purbakala.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari
nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, selisih harga
tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara
badan usaha dan pemegang sahamnya, harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk
penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga
pasar.
Misalnya, PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan
usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta
rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah). Dengan demikian, keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil
tersebut adalah Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut
dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp55.000.000,00 (lima
puluh lima juta rupiah), nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan
harga pasar sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar
Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S dan bagi
pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp5.000.000,00 (lima
juta rupiah) merupakan penghasilan.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu
selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku harta
tersebut, merupakan objek pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar
dan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.
Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang
diserahkan dan nilai bukunya merupakan penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau
nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan
merupakan penghasilan bagi pihak yang mengalihkan kecuali harta tersebut
dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat.
Demikian juga, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan
atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa bantuan atau sumbangan dan
hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan bukan
merupakan penghasilan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan mengalihkan sebagian atau
seluruh hak tersebut kepada Wajib Pajak lain, keuntungan yang diperoleh
merupakan objek pajak.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat
menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak.
Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan
dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah
sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai
nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah
nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan
obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
Huruf g
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau
pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh
anggota koperasi.
Termasuk dalam pengertian dividen adalah :
1)
|
pembagian
laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk
apapun;
|
2)
|
pembayaran
kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang
disetor;
|
3)
|
pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham
bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
|
4)
|
pembagian
laba dalam bentuk saham;
|
5)
|
pencatatan
tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
|
6)
|
jumlah
yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang
saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang
bersangkutan;
|
7)
|
pembayaran
kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam
tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali
itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara
sah;
|
8)
|
pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima
sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
|
9)
|
bagian laba sehubungan dengan pemilikan
obligasi;
|
10)
|
bagian
laba yang diterima oleh pemegang polis;
|
11)
|
pembagian
berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
|
12)
|
pengeluaran perusahaan untuk
keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya
perusahaan.
|
Dalam
praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung,
misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan
memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi
kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga
yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai
dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
Huruf h
Royalti
adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan
apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas :
1.
|
penggunaan
atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya
ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek
dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa
lainnya;
| |
2.
|
penggunaan
atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau
ilmiah;
| |
3.
|
pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal,
industrial, atau komersial;
| |
4.
|
pemberian
bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau
informasi tersebut pada angka 3, berupa :
| |
a)
|
penerimaan
atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang
disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi
yang serupa;
| |
b)
|
penggunaan
atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk
siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel,
serat optik, atau teknologi yang serupa;
| |
c)
|
penggunaan
atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio
komunikasi;
| |
5.
|
penggunaan
atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita
video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;
dan
| |
6.
|
pelepasan
seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak
kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di
atas.
|
Huruf i
Dalam
pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak
gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
Huruf j
Penerimaan
berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup
yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
Huruf k
Pembebasan
utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang
semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai
biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan
utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra),
Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan
sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu
dikecualikan sebagai objek pajak.
Huruf l
Keuntungan
yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Huruf m
Selisih
lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
merupakan penghasilan.
Huruf n
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
Huruf o
Cukup
jelas.
Huruf p
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan
baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum
dikenakan pajak.
Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
Huruf q
Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda
dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap
merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan-penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan antara lain:
-
|
perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan
masyarakat;
|
-
|
kesederhanaan dalam pemungutan
pajak;
|
-
|
berkurangnya beban administrasi
baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak;
|
-
|
pemerataan
dalam pengenaan pajaknya; dan
|
-
|
memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter,
|
atas
penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam
pengenaan pajaknya.
Perlakuan
tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat,
besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Obligasi
sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk surat utang berjangka waktu lebih
dari 12 (dua belas) bulan, seperti Medium Term Note, Floating Rate Note yang
berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan.
Surat
Utang Negara yang dimaksud pada ayat ini meliputi Obligasi Negara dan Surat
Perbendaharaan Negara.
Ayat (3)
Huruf a
Bantuan
atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak sepanjang
diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan
kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui
di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak
diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan “zakat”
adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
zakat.
Hubungan
usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A
sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT
B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan
baku yang diterima oleh PT A merupakan objek pajak.
Harta
hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak apabila diterima
oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan
keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja,
hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan
merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta
tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka
berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan objek
pajak.
Huruf d
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan
dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti
beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti
penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek
pajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut
bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final dan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit), imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan
tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau
memperolehnya.
Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu
perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan
menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau
kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan
penghasilan bagi pegawai tersebut sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan
bukan merupakan Wajib Pajak.
Huruf e
Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari
perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan
merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi
untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan
Kena Pajak.
Huruf f
Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba
setelah dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, dan badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima
persen), tidak termasuk objek pajak. Yang dimaksud dengan “badan usaha milik
negara” dan “badan usaha milik daerah” pada ayat ini, antara lain, adalah
perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah, dan bank pembangunan
daerah.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba
adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi
baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan
organisasi sejenis dan sebagainya, penghasilan berupa dividen atau bagian laba
tersebut tetap merupakan objek pajak.
Huruf g
Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku
bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri
Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari
peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja.
Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana
milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada
waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para
peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek
Pajak.
Huruf h
Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai Objek Pajak
berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya
telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek
Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di
bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal
oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan merupakan dana untuk
pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman
modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif
atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidang-bidang tertentu
dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Huruf i
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam
ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu
kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang
diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak.
Huruf
j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “perusahaan modal ventura” adalah suatu perusahaan
yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam
bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan
ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha
tidak termasuk sebagai objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha
tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa
efek di Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, dividen yang diterima atau diperoleh
perusahaan modal ventura bukan merupakan objek pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada
sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan,
misalnya untuk meningkatkan ekspor nonmigas, usaha atau kegiatan dari perusahaan
pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam
bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan
modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke
bursa efek.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya
manusia melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan
sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan
fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang
diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam
bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud.
Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam
jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau
diperoleh.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga
atau badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan
serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada
siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang
membidanginya.
Huruf n
Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan
khusus kepada Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu atau sedang
mendapat bencana alam atau tertimpa musibah.
Pasal 5 (UU No. 10 Tahun
1994)
(1)
|
Yang menjadi
Objek Pajak bentuk usaha tetap adalah :
| ||
a.
|
penghasilan
dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang
dimiliki atau dikuasai;
| ||
b.
|
penghasilan
kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di
Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk
usaha tetap di Indonesia;
| ||
c.
|
penghasilan
sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat,
sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau
kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
| ||
(2)
|
Biaya-biaya
yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
huruf c boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha
tetap.
| ||
(3)
|
Dalam
menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap :
| ||
a.
|
biaya
administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang
berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
| ||
b.
|
pembayaran
kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah
:
| ||
1)
|
royalti atau
imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak
lainnya;
| ||
2)
|
imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa
lainnya;
| ||
3)
|
bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha
perbankan;
| ||
c.
|
pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima atau
diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Objek Pajak, kecuali bunga
yang berkenaan dengan usaha perbankan.
|
Penjelasan Pasal 5
Orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dikenakan pajak di Indonesia melalui
bentuk usaha tetap tersebut.
Ayat
(1)
Huruf a
Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari
usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan
demikian semua penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia.
Huruf b
Berdasarkan
ketentuan ini penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan,
penjualan barang dan pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh
bentuk usaha tetap dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada
hakikatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau
kegiatan dan dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap.
Usaha atau
kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, misalnya
terjadi apabila sebuah bank di luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha
tetap di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui bentuk
usaha tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.
Penjualan
barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor
pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual
produk yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap tersebut
secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada pembeli di Indonesia.
Pemberian
jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh bentuk usaha
tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesia memberikan
konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan bentuk usaha tetap
tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien di
Indonesia.
Huruf c
Penghasilan
seperti dimaksud dalam Penjelasan Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor
pusat dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila
terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan
dengan bentuk usaha tetap tersebut. Misalnya, X Inc. menutup perjanjian lisensi
dengan PT Y untuk mempergunakan merek dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut
X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT Y. Sehubungan dengan perjanjian
tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT Y melalui suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT Y yang mempergunakan
merek dagang tersebut.
Dalam hal
demikian, penggunaan merek dagang oleh PT Y mempunyai hubungan efektif dengan
bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang
berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Biaya-biaya
administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat sepanjang digunakan untuk
menunjang usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia, boleh dikurangkan
dari penghasilan bentuk usaha tetap tersebut. Jenis serta besarnya biaya yang
boleh dikurangkan tersebut ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Huruf b
dan huruf c
Pada dasarnya bentuk usaha tetap merupakan satu kesatuan dengan
kantor pusatnya, sehingga pembayaran oleh bentuk usaha tetap kepada kantor
pusatnya, seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan
perputaran dana dalam satu perusahaan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan
ini pembayaran bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya berupa royalti, imbalan
jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap.
Namun apabila kantor pusat dan bentuk usaha tetapnya bergerak dalam bidang usaha
perbankan, maka pembayaran berupa bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai
biaya.
Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut, pembayaran-pembayaran
yang sejenis yang diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya tidak
dianggap sebagai Objek Pajak, kecuali bunga yang diterima oleh bentuk usaha
tetap dari kantor pusatnya yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Pasal 6
(UU
No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan
penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, termasuk:
| ||
a.
|
biaya yang secara langsung atau
tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
| ||
1.
|
biaya pembelian
bahan;
| ||
2.
|
biaya berkenaan dengan pekerjaan
atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan
yang diberikan dalam bentuk uang;
| ||
3.
|
bunga, sewa, dan
royalti;
| ||
4.
|
biaya
perjalanan;
| ||
5.
|
biaya pengolahan
limbah;
| ||
6.
|
premi
asuransi;
| ||
7.
|
biaya promosi dan penjualan
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
| ||
8.
|
biaya administrasi;
dan
| ||
9.
|
pajak kecuali Pajak
Penghasilan;
| ||
b.
|
penyusutan atas pengeluaran untuk
memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak
dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
| ||
c.
|
iuran kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
| ||
d.
|
kerugian karena penjualan atau
pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
| ||
e.
|
kerugian selisih kurs mata
uang asing;
| ||
f.
|
biaya penelitian dan pengembangan
perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
| ||
g.
|
biaya beasiswa, magang, dan
pelatihan;
| ||
h.
|
piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih dengan syarat :
| ||
1.
|
telah dibebankan sebagai biaya
dalam laporan laba rugi komersial;
| ||
2.
|
Wajib Pajak harus menyerahkan
daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak;
dan
| ||
3.
|
telah diserahkan perkara
penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani
piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau
telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan
dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang
tertentu;
| ||
4.
|
syarat sebagaimana dimaksud pada
angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
| ||
yang pelaksanaannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
| |||
i.
|
sumbangan dalam rangka
penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
| ||
j.
|
sumbangan dalam rangka penelitian
dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
| ||
k.
|
biaya pembangunan
infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
| ||
l
|
sumbangan fasilitas
pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
| ||
m.
|
sumbangan dalam rangka pembinaan
olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
| ||
(2)
|
Apabila penghasilan bruto setelah
pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, kerugian
tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
| ||
(3)
|
Kepada orang pribadi sebagai Wajib
Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
|
Penjelasan Pasal
6
Ayat (1)
Beban-beban yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau
biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa
manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang
bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin
pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan
atau melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat
kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, kerugian-kerugian
tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf a
Biaya-biaya yang dimaksud pada ayat
ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun
pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran
tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan
usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
merupakan objek pajak.
Dengan
demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan sebagai
biaya.
Contoh:
Dana
Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan
memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
a.
|
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf h
|
Rp
100.000.000,00
|
b.
|
penghasilan bruto lainnya
sebesar
|
Rp
300.000.000,00 (+)
|
Jumlah penghasilan
bruto
|
Rp
400.000.000,00
|
Apabila
seluruh biaya adalah sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), biaya
yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
adalah sebesar 3/4 x Rp200.000.000,00 = Rp150.000.000,00.
Demikian
pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat
dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan
objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f. Bunga pinjaman
yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga
perolehan saham.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak
ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang
saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi
peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh
dibebankan sebagai biaya.
Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan
pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi pegawai yang
bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang.
Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya
fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai
biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.
Namun, pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi
pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan
pedagang yang baik. Dengan demikian, apabila pengeluaran yang melampaui batas
kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, jumlah yang melampaui
batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto.
Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18
beserta penjelasannya.
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain
Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM),
Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.
Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang
benar-benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya merupakan
sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto.
Besarnya biaya promosi dan penjualan yang diperkenankan sebagai
pengurang penghasilan bruto diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
Huruf b
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak
berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau
amortisasi.
Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A
beserta penjelasannya.
Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya
sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan
melalui alokasi.
Huruf c
Iuran kepada dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai
biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya
tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai
biaya.
Huruf d
Kerugian karena penjualan
atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual
atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang
dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi
tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto.
Huruf e
Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Huruf f
Biaya penelitian dan
pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar
untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Huruf g
Biaya yang dikeluarkan
untuk keperluan beasiswa, magang, dan pelatihan dalam rangka peningkatan
kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan
memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya
adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain.
Huruf h
Piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah
mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan
upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.
Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala
nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.
Tata cara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) huruf h
ini diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jika
pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan pada ayat (1)
setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun
berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian
tersebut.
Contoh:
PT A dalam tahun 2009
menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta
rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut :
2010 : laba
fiskal
|
Rp200.000.000,00
|
2011 : rugi
fiskal
|
(Rp300.000.000,00)
|
2012 : laba
fiskal
|
Rp N I H I
L
|
2013 : laba
fiskal
|
Rp100.000.000,00
|
2014 : laba
fiskal
|
Rp800.000.000,00
|
Kompensasi kerugian
dilakukan sebagai berikut :
Rugi
fiskal tahun 2009
|
(Rp1.200.000.000,00)
|
Laba
fiskal tahun 2010
|
Rp
200.000.000,00 (+)
|
Sisa rugi
fiskal tahun 2009
|
(Rp1.000.000.000,00)
|
Rugi
fiskal tahun 2011
|
(Rp
300.000.000,00)
|
Sisa rugi
fiskal tahun 2009
|
(Rp1.000.000.000,00)
|
Laba
fiskal tahun 2012
|
Rp N I H I
L (+)
|
Sisa rugi
fiskal tahun 2009
|
(Rp1.000.000.000,00)
|
Laba
fiskal tahun 2013
|
Rp
100.000.000,00 (+)
|
Sisa rugi
fiskal tahun 2009
|
(Rp
900.000.000,00)
|
Laba
fiskal tahun 2014
|
Rp
800.000.000,00 (+)
|
Sisa rugi
fiskal tahun 2009
|
(Rp
100.000.000,00)
|
Rugi fiskal tahun 2009 sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang masih tersisa pada akhir tahun 2014
tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi
fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) hanya boleh
dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka
waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016.
Ayat (3)
Dalam
menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri,
kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Pasal 7
(UU
No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Penghasilan Tidak Kena Pajak per
tahun diberikan paling sedikit sebesar :
| |
a.
|
Rp15.840.000,00 (lima belas juta
delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang
pribadi;
| |
b.
|
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga
ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin;
| |
c.
|
Rp15.840.000,00 (lima belas juta
delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1); dan
| |
d.
|
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga
ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi
tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap
keluarga.
| |
(2)
|
Penerapan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal
bagian tahun pajak.
| |
(3)
|
Penyesuaian besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
|
Penjelasan Pasal
7
Ayat (1)
Untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena
Pajak. Di samping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan
tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Bagi Wajib
Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan
penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena
Pajak untuk seorang isteri paling sedikit sebesar Rp15.840.000,00 (lima belas
juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah).
Wajib
Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan
lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak
kandung, atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk
paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan “anggota keluarga yang
menjadi tanggungan sepenuhnya” adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai
penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib
Pajak.
Contoh:
Wajib
Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat) orang anak. Apabila
isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong
Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan
usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp21.120.000,00
{Rp15.840.000,00 + Rp1.320.000,00 + (3 x Rp1.320.000,00)}, sedangkan untuk
isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja
diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 15.840.000,00. Apabila
penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar
Rp36.960.000,00 (Rp21.120.000,00 + Rp15.840.000,00).
Ayat (2)
Penghitungan besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan menurut keadaan
Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak.
Misalnya, pada tanggal 1 Januari
2009 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak.
Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2009, besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun
pajak 2009 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.
Ayat (3)
Berdasarkan ketentuan ini Menteri
Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan
moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
Pasal 8
(UU
No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Seluruh penghasilan atau kerugian
bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun
pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang
belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap
sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut
semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah
dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga
lainnya.
| |
(2)
|
Penghasilan suami-isteri dikenai
pajak secara terpisah apabila :
| |
a.
|
suami-isteri telah hidup
berpisah berdasarkan putusan hakim;
| |
b.
|
dikehendaki secara tertulis
oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
atau
| |
c.
|
dikehendaki oleh isteri yang
memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
sendiri.
| |
(3)
|
Penghasilan neto suami-isteri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan
penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus
dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan
penghasilan neto mereka.
| |
(4)
|
Penghasilan anak yang belum dewasa
digabung dengan penghasilan orang tuanya.
|
Penjelasan Pasal
8
Sistem
pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan keluarga sebagai satu
kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota
keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan
kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, dalam hal-hal tertentu
pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah
Ayat (1)
Penghasilan atau kerugian bagi
wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak
dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai pajak sebagai
satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan
isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh
pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa :
a.
|
penghasilan isteri tersebut
semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
|
b.
|
penghasilan isteri tersebut berasal
dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas
suami atau anggota keluarga lainnya.
|
Contoh:
Wajib
Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan
penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Apabila
penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong
pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan
usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar
Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan penghasilan A
dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat
final.
Apabila
selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon
kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta
rupiah), seluruh penghasilan isteri sebesar Rp150.000.000,00 (Rp70.000.000,00 +
Rp80.000.000,00) digabungkan dengan penghasilan A. Dengan penggabungan tersebut,
A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00
+ Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri
tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
atas penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
Ayat (2) dan ayat (3)
Dalam hal
suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim, penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Apabila
suami isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara
tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan
penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding
dengan besarnya penghasilan neto.
Contoh:
Penghitungan pajak bagi
suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis
atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
sendiri adalah sebagai berikut.
Dari
contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan,
pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Misalnya,
pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar
Rp27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima puluh ribu rupiah) maka
untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut
:
-
|
Suami
:
|
| |||
-
|
Isteri
:
|
|
Ayat (4)
Penghasilan anak yang belum dewasa
dari mana pun sumber penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya digabung
dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama.
Yang
dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Apabila
seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah, menerima atau
memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah
atau ibunya berdasarkan keadaan sebenarnya.
Pasal 9
(UU
No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
tidak boleh dikurangkan :
| ||
a.
|
pembagian laba dengan nama dan
dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
| ||
b.
|
biaya yang dibebankan atau
dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau
anggota;
| ||
c.
|
pembentukan atau pemupukan dana
cadangan, kecuali :
| ||
1.
|
cadangan piutang tak tertagih untuk
usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan
hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak
piutang;
| ||
2.
|
cadangan untuk usaha asuransi
termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial;
| ||
3.
|
cadangan penjaminan untuk Lembaga
Penjamin Simpanan;
| ||
4.
|
cadangan biaya reklamasi untuk
usaha pertambangan;
| ||
5.
|
cadangan biaya penanaman
kembali untuk usaha kehutanan; dan
| ||
6.
|
cadangan biaya penutupan dan
pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah
industri,
| ||
yang ketentuan dan
syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
| |||
d.
|
premi asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang
dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja
dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang
bersangkutan;
| ||
e.
|
penggantian atau imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan,
kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian
atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
| ||
f.
|
jumlah yang melebihi kewajaran yang
dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan
istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan;
| ||
g.
|
harta yang dihibahkan, bantuan atau
sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan
huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i
sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang
diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah;
| ||
h.
|
Pajak
Penghasilan;
| ||
i.
|
biaya yang dibebankan atau
dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya;
| ||
j.
|
gaji yang dibayarkan kepada anggota
persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham;
| ||
k.
|
sanksi administrasi berupa bunga,
denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan
pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
| ||
(2)
|
Pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan
melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau
Pasal 11A.
|
Penjelasan Pasal
9
Ayat (1)
Pengeluaran-pengeluaran yang
dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang
tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pada
prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang
mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang
pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat
dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya pemakaian penghasilan atau
yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Huruf a
Pembagian laba dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal,
pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen
oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan
bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang ini.
Huruf b
Tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan
oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota,
seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang
dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau
keluarganya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat
orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan
tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi
kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai
biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan
Objek Pajak.
Huruf e
Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d,
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan
merupakan objek pajak.
Selaras dengan hal tersebut, dalam ketentuan ini penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberian natura dan kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya :
Selaras dengan hal tersebut, dalam ketentuan ini penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberian natura dan kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya :
1.
|
penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan
pekerjaan di daerah tersebut dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk
mendorong pembangunan di daerah terpencil;
|
2.
|
pemberian natura dan kenikmatan
yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan
kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan
peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam),
antar jemput karyawan, serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya;
dan
|
3.
|
pemberian atau penyediaan
makanan dan atau minuman bagi seluruh pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan.
|
Huruf f
Dalam
hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan
kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan
kelaziman usaha, berdasarkan ketentuan ini jumlah yang melebihi kewajaran
tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Misalnya, seorang tenaga ahli
yang merupakan pemegang saham dari suatu badan memberikan jasa kepada badan
tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
Apabila
untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya
dibayar sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), jumlah sebesar
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen.
Huruf g
Cukup
jelas.
Huruf h
Yang dimaksudkan dengan Pajak
Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan.
Huruf i
Biaya
untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada
hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan.
Huruf j
Anggota firma, persekutuan dan
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai
satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji
yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.
Huruf k
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan
terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan
jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Sejalan
dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam
ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan
sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan
melalui penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur
dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
Pasal 10
(UU
No. 10 Tahun 1994)
(1)
|
Harga perolehan atau harga
penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan
istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang
sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan
istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima.
| |
(2)
|
Nilai perolehan atau nilai
penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
| |
(3)
|
Nilai perolehan atau pengalihan
harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan
atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri
Keuangan.
| |
(4)
|
Apabila terjadi pengalihan harta
:
| |
a.
|
yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, maka dasar penilaian bagi
yang menerima pengalihan sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan
pengalihan atau nilai yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak;
| |
b.
|
yang tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka dasar penilaian bagi
yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta
tersebut.
| |
(5)
|
Apabila terjadi pengalihan harta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c, maka dasar penilaian harta
bagi badan yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta
tersebut.
| |
(6)
|
Persediaan dan pemakaian persediaan
untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang
dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang
diperoleh pertama.
|
Penjelasan Pasal
10
Ketentuan ini
mengatur tentang cara penilaian harta, termasuk persediaan, dalam rangka
menghitung penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta dalam perusahaan,
menghitung keuntungan atau kerugian apabila terjadi penjualan atau pengalihan
harta, dan penghitungan penghasilan dari penjualan barang dagangan.
Ayat (1)
Pada umumnya dalam jual beli harta,
harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah harga yang sesungguhnya dibayar
dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima.
Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan
dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan
dan biaya pemasangan.
Dalam jual beli yang dipengaruhi
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), maka bagi pihak
pembeli nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak
penjual nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya
hubungan istimewa antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga perolehan
menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika jual beli tersebut
tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Oleh karena itu dalam ketentuan ini
diatur bahwa nilai perolehan atau nilai penjualan harta bagi pihak-pihak yang
bersangkutan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya
diterima.
Ayat (2)
Harta
yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar-menukar dengan harta lain, nilai
perolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima berdasarkan harga pasar.
Contoh:
PT A
(Harta
X)
|
PT B
(Harta
Y)
| |
Nilai sisa
buku
|
Rp10.000.000,00
|
Rp12.000.000,00
|
Harga
pasar
|
Rp20.000.000,00
|
Rp20.000.000,00
|
Antara PT A dan PT B
terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak terdapat realisasi pembayaran antara
pihak-pihak yang bersangkutan, namun karena harga pasar harta yang dipertukarkan
adalah Rp20.000.000,00, maka jumlah sebesar Rp20.000.000,00 merupakan nilai
perolehan yang seharusnya dikeluarkan atau nilai penjualan yang seharusnya
diterima.
Selisih antara harga
pasar dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan yang
dikenakan pajak. PT A memperoleh keuntungan sebesar Rp10.000.000,00
(Rp20.000.000,00 - Rp10.000.000,00) dan PT B memperoleh keuntungan sebesar
Rp8.000.000,00 (Rp20.000.000,00 - Rp12.000.000,00).
Ayat (3)
Pada prinsipnya
apabila terjadi pengalihan harta, penilaian harta yang dialihkan dilakukan
berdasarkan harga pasar. Pengalihan harta tersebut dapat dilakukan dalam rangka
pengembangan usaha berupa penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha. Selain itu pengalihan tersebut dapat dilakukan pula dalam
rangka likuidasi usaha atau sebab lainnya.
Selisih antara harga
pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang
dikenakan pajak.
Contoh:
PT A dan PT B
melakukan peleburan dan membentuk badan baru, yaitu PT C. Nilai sisa buku dan
harga pasar harta dari kedua badan tersebut adalah sebagai berikut:
PT
A
|
PT
B
| |
Nilai sisa
buku
|
Rp200.000.000,00
|
Rp300.000.000,00
|
Harga
pasar
|
Rp300.000.000,00
|
Rp450.000.000,00
|
Pada dasarnya,
penilaian harta yang diserahkan oleh PT A dan PT B dalam rangka peleburan
menjadi PT C adalah harga pasar dari harta. Dengan demikian, PT A mendapat
keuntungan sebesar Rp100.000.000,00 (Rp300.000.000,00 - Rp200.000.000,00) dan PT
B mendapat keuntungan sebesar Rp150.000.000,00 (Rp450.000.000,00 -
Rp300.000.00,00). Sedangkan PT C membukukan semua harta tersebut dengan jumlah
Rp750.000.000,00 (Rp300.000.000,00 + Rp450.000.000,00).
Namun dalam rangka
menyelaraskan dengan kebijakan di bidang sosial, ekonomi, investasi, moneter dan
kebijakan lainnya, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain
selain harga pasar, yaitu atas dasar nilai sisa buku (“pooling of interest”).
Dalam hal demikian PT C membukukan penerimaan harta dari PT A dan PT B tersebut
sebesar Rp500.000.000,00 (Rp200.000.000,00 + Rp300.000.000,00).
Ayat (4)
Dalam
hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan yang memenuhi
syarat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a atau warisan, maka nilai perolehan bagi
pihak yang menerima harta adalah nilai sisa buku harta dari pihak yang melakukan
penyerahan. Apabila Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan sehingga nilai
sisa buku tidak diketahui, maka nilai perolehan atas harta ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Dalam hal terjadi
penyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan yang tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka nilai perolehan bagi
pihak yang menerima harta adalah harga pasar.
Ayat (5)
Penyertaan Wajib Pajak dalam
permodalan suatu badan dapat dipenuhi dengan setoran tunai atau pengalihan
harta.
Ketentuan ini
mengatur tentang penilaian harta yang diserahkan sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal dimaksud, yaitu dinilai berdasarkan nilai pasar dari harta yang
dialihkan tersebut.
Contoh:
Wajib Pajak X
menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai bukunya adalah Rp25.000.000,00 kepada
PT Y sebagai pengganti penyertaan sahamnya dengan nilai nominal Rp20.000.000,00.
Harga pasar
mesin-mesin bubut tersebut adalah Rp40.000.000,00. Dalam hal ini PT Y akan
mencatat mesin bubut tersebut sebagai aktiva dengan nilai Rp40.000.000,00 dan
sebesar nilai tersebut bukan merupakan penghasilan bagi PT Y.
Selisih
antara nilai nominal saham dengan nilai pasar harta, yaitu sebesar
Rp20.000.000,00 (Rp40.000.000,00 - Rp20.000.000,00) dibukukan sebagai agio. Bagi
Wajib Pajak X selisih sebesar Rp15.000.000,00 (Rp40.000.000,00 -
Rp25.000.000,00) merupakan Objek Pajak.
Ayat (6)
Pada umumnya terdapat
3 (tiga) golongan persediaan barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan,
barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu.
Ketentuan pada ayat
ini mengatur bahwa penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga
perolehan. Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya
boleh dilakukan dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan
yang didapat pertama ("first-in first-out atau disingkat FIFO"). Sesuai dengan
kelaziman, cara penilaian tersebut juga diberlakukan terhadap sekuritas.
Contoh:
1.
|
Persediaan
Awal
|
100 satuan
|
@ Rp
9,00
|
2.
|
Pembelian
|
100 satuan
|
@
Rp12,00
|
3.
|
Pembelian
|
100 satuan
|
@
Rp11,25
|
4.
|
Penjualan/dipakai
|
100
satuan
|
|
5.
|
Penjualan/dipakai
|
100
satuan
|
Penghitungan harga
pokok penjualan dan nilai persediaan dengan menggunakan cara rata-rata misalnya
sebagai berikut:
No. |
Didapat
|
Dipakai
|
Sisa/persediaan
|
1
|
100s@Rp 9,00 = Rp
900,00
| ||
2
|
100s@Rp12,00 =
Rp1.200,00
|
200s@Rp10,50 =
Rp2.100,00
| |
3
|
100s@Rp11,25 =
Rp1.125,00
|
300s@Rp10,75 =
Rp3.225,00
| |
4
|
100s@Rp10,75 =
Rp1.075,00
|
200s@Rp10,75 =
Rp2.150,00
| |
5
|
100s@Rp10,75 =
Rp1.075,00
|
100s@Rp10,75 =
Rp1.075,00
|
Penghitungan harga pokok penjualan
dan nilai persediaan dengan menggunakan cara FIFO misalnya sebagai
berikut:
No.
|
Didapat
|
Dipakai
|
Sisa/persediaan
|
1
|
100s@Rp 9,00 = Rp
900,00
| ||
2
|
100s@Rp12,00 =
Rp1.200,00
|
100s@Rp 9,00 = Rp
900,00
100s@Rp12,00 =
Rp1.200,00
| |
3
|
100s@Rp11,25 =
Rp1.125,00
|
100s@Rp 9,00 = Rp
900,00
100s@Rp12,00 =
Rp1.200,00
100s@Rp11,25 =
Rp1.125,00
| |
4
|
100s@Rp 9,00 =
Rp900,00
|
100s@Rp12,00 =
Rp1.200,00
100s@Rp11,25 =
Rp1.125,00
| |
5
|
100s@Rp12,00 =
Rp1.200,00
|
100s@Rp11,25 =
Rp1.125,00
|
Sekali
Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk
penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus
digunakan cara yang sama.
Pasal 11
(UU
No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Penyusutan atas pengeluaran untuk
pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud,
kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan
hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah
ditentukan bagi harta tersebut.
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(2)
|
Penyusutan atas pengeluaran harta
berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain bangunan, dapat juga
dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung
dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir
masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan
secara taat asas.
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(3)
|
Penyusutan dimulai pada bulan
dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses
pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta
tersebut.
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(4)
|
Dengan persetujuan Direktur
Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan
harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(5)
|
Apabila Wajib Pajak melakukan
penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian
kembali aktiva tersebut.
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(6)
|
Untuk menghitung penyusutan, masa
manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut :
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha
tertentu diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(8)
|
Apabila terjadi pengalihan atau
penarikan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau
penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut
dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya
yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya
penarikan harta tersebut.
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(9)
|
Apabila hasil penggantian asuransi
yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian,
maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian
tersebut.
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(10)
|
Apabila terjadi pengalihan harta
yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan
huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut
tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai
kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
11
Ayat (1) dan
ayat (2)
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran
tersebut selama masa manfaat harta berwujud melalui penyusutan.
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah
berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali
tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam
perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah
tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya
tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan
batu bata.
Yang dimaksud dengan “pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali” adalah biaya
perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari
pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk
pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha,
dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.
Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini dilakukan:
a.
|
dalam bagian-bagian yang sama besar
selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau
straight-line method); atau
|
b.
|
dalam bagian-bagian yang menurun
dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo
menurun atau declining balance method).
|
Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat
asas.
Untuk
harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus.
Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau
metode saldo menurun.
Dalam hal
Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir
masa manfaat harus disusutkan sekaligus.
Sesuai
dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau
sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.
Contoh penggunaan metode garis lurus:
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun
adalah sebesar Rp50.000.000,00 (Rp1.000.000.000,00 : 20).
Contoh penggunaan metode saldo menurun:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009 dengan
harga perolehan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Masa
manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan
misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), penghitungan penyusutannya adalah
sebagai berikut:
Tahun
|
Tarif
|
Penyusutan
|
Nilai Sisa
Buku
|
Harga
Perolehan
|
150.000.000,00
| ||
2009
|
50%
|
75.000.000,00
|
75.000.000,00
|
2010
|
50%
|
37.500.000,00
|
37.500.000,00
|
2011
|
50%
|
18.750.000,00
|
18.750.000,00
|
2012
|
Disusutkan
sekaligus
|
18.750.000,00
|
0
|
Ayat (3)
Penyusutan dimulai pada bulan
dilakukannya pengeluaran atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta
sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata.
Contoh 1 :
Pengeluaran untuk pembangunan
sebuah gedung adalah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2009 dan selesai untuk digunakan pada
bulan Maret 2010. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut
dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2010.
Contoh 2
:
Sebuah
mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009 dengan harga perolehan
sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut
adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima
puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.
Tahun
|
Tarif
|
Penyusutan
|
Nilai Sisa
Buku
|
Harga
Perolehan
|
100.000.000,00
| ||
2009
|
6/12 x 50%
|
25.000.000,00
|
75.000.000,00
|
2010
|
50%
|
37.500.000,00
|
37.500.000,00
|
2011
|
50%
|
18.750.000,00
|
18.750.000,00
|
2012
|
50%
|
9.375.000,00
|
9.375.000,00
|
2013
|
Disusutkan
sekaligus
|
9.375.000,00
|
0
|
Ayat (4)
Berdasarkan persetujuan Direktur
Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta
tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau
pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Saat mulai menghasilkan dalam
ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan
saat diterima atau diperolehnya penghasilan.
Contoh:
PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2009.
Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2010. Dengan
persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan
mulai tahun 2010.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Ayat (6)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan
penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa
manfaat harta dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo
menurun.
Yang dimaksud dengan “bangunan tidak permanen” adalah bangunan yang
bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan
yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10
(sepuluh) tahun, misalnya barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk
karyawan.
Ayat (7)
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha
tertentu, seperti perkebunan tanaman keras, kehutanan, dan peternakan, perlu
diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan
dalam bidang-bidang usaha tertentu tersebut yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (8) dan
ayat (9)
Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenai
pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.
Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan neto dari
penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dan biaya yang
dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau penggantian
asuransinya, dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau
tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut
dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat
diketahui dengan pasti pada masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut
dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.
Ayat (10)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), dalam hal
pengalihan harta berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) huruf a dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan
sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan.
Ayat (11)
Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak untuk melakukan
penyusutan, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan jenis-jenis harta yang
termasuk dalam setiap kelompok dan masa manfaat yang harus diikuti oleh Wajib
Pajak.
Pasal 11A
(UU
No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya
perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah
(goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang
dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dilakukan
dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama
masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas
pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat
diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.
| ||||||||||
(1a)
|
Amortisasi
dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu
yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
| ||||||||||
(2)
|
Untuk menghitung amortisasi, masa
manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut :
| ||||||||||
(3)
|
Pengeluaran untuk biaya pendirian
dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya
pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2).
| ||||||||||
(4)
|
Amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan
menggunakan metode satuan produksi.
| ||||||||||
(5)
|
Amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh hak penambangan selain yang dimaksud pada ayat (4), hak pengusahaan
hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode
satuan produksi setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.
| ||||||||||
(6)
|
Pengeluaran yang dilakukan sebelum
operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
| ||||||||||
(7)
|
Apabila terjadi pengalihan harta
tak berwujud atau hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (4), dan
ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai
kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada
tahun terjadinya pengalihan tersebut.
| ||||||||||
(8)
|
Apabila terjadi pengalihan harta
yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan
huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta
tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
|
Penjelasan Pasal
11A
Ayat (1)
Harga perolehan harta tak berwujud
dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna
usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari
1 (satu) tahun diamortisasi dengan metode :
a.
|
dalam bagian-bagian yang
sama setiap tahun selama masa manfaat; atau
|
b.
|
dalam bagian-bagian yang menurun
setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku.
|
Khusus
untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada
akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut
diamortisasi sekaligus.
Ayat (1a)
Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran sehingga
amortisasi pada tahun pertama dihitung secara pro-rata.
Dalam
rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu perlu
diberikan pengaturan tersendiri untuk amortisasi yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (2)
Penentuan
masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud
dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan
amortisasi. Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang
dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan masa manfaat yang
sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan
didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan
ini. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada
kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang
terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6
(enam) tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8
(delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka
harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa
manfaat 4 (empat) tahun.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Metode satuan produksi dilakukan
dengan menerapkan persentase tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama
dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi
pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan
gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.
Apabila
ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan,
sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran
lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun
pajak yang bersangkutan.
Ayat (5)
Pengeluaran untuk memperoleh hak
penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak
pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil
laut diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah paling tinggi
20% (dua puluh persen) setahun.
Contoh:
Pengeluaran untuk memperoleh hak
pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu,
sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) diamortisasi sesuai dengan
persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan.
Jika dalam 1 (satu) tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000
(tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi yang tersedia,
walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen)
dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk
dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh
persen) dari pengeluaran atau Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Ayat (6)
Dalam
pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, adalah
biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi
kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya
operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik
dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin
ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun
pengeluaran.
Ayat (7)
Contoh:
PT X mengeluarkan biaya untuk
memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar
Rp500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah
sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas
bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel, PT X menjual hak penambangan
tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp300.000.000,00. Penghitungan
penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut :
Harga
perolehan
|
Rp500.000.000,00
|
Amortisasi
yang telah dilakukan
100.000.000/200.000.000 barel (50%)
|
Rp250.000.000,00
|
Nilai buku harta
|
Rp250.000.000,00
|
Harga jual harta
|
Rp300.000.000,00
|
Dengan
demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp250.000.000,00 dibebankan sebagai
kerugian dan jumlah sebesar Rp300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan.
Ayat (8)
Cukup
jelas.
Pasal 12
(UU
No. 10 Tahun 1994)
Dihapus.
Penjelasan Pasal
12
Cukup jelas.
Pasal
13 (UU No. 10 Tahun 1994)
Dihapus.
Penjelasan Pasal
13
Cukup jelas.
Pasal
14 (UU No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Wajib Pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1
(satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
|
(3)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakan.
|
(4)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
|
(5)
|
Wajib Pajak yang wajib
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan
atau bukti-bukti pendukungnya maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara
lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(6)
|
Dihapus.
|
(7)
|
Besarnya peredaran bruto
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
14
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat
penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan
ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak
harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak
mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap
diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang
menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto
tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto
bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma
penghitungan.
Ayat (1)
Norma Penghitungan adalah
pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma
Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal :
a.
|
tidak terdapat dasar penghitungan
yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau
|
b.
|
pembukuan atau catatan peredaran
bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak
benar.
|
Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian
atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.
Norma
Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan
pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
Ayat (2)
Norma
Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran
brutonya kurang dari jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah). Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut,
Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan.
Ayat (3)
Wajib
Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan
tata cara perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan
norma dalam menghitung penghasilan neto.
Ayat (4)
Apabila
Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap
memilih menyelenggarakan pembukuan.
Ayat (5)
Wajib
Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan,
atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi :
a.
|
tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan;
atau
|
b.
|
tidak bersedia memperlihatkan
pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan
pemeriksaan
|
sehingga
mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto yang sebenarnya tidak
diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung dengan
cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan
penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto.
Ayat (6)
Cukup
jelas.
Ayat (7)
Menteri
Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dengan memerhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat
Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
Pasal 15
(UU
No. 10 Tahun 1994)
Norma Penghitungan Khusus untuk
menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung
berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri
Keuangan.
Penjelasan Pasal
15
Ketentuan ini mengatur tentang
Norma Penghitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu, antara lain
perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar
negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang
asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah
(“build, operate, and transfer”).
Untuk
menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau
sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut,
Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna
menghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu
tersebut.
BAB IV
CARA MENGHITUNG PAJAK
CARA MENGHITUNG PAJAK
Pasal
16 (UU No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Penghasilan Kena Pajak sebagai
dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak
dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf
e, dan huruf g.
|
(2)
|
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak orang pribadi dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dihitung
dengan menggunakan norma penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan
untuk Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
|
(3)
|
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara
mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan
memerhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2),
serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.
|
(4)
|
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan
penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang
disetahunkan.
|
Penjelasan Pasal
16
Penghasilan Kena Pajak merupakan
dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang.
Dalam Undang-Undang ini dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak
dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.
Bagi Wajib
Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara biasa dan penghitungan
dengan menggunakan Norma Penghitungan.
Di samping
itu terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan Norma Penghitungan Khusus,
yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak
dibedakan antara:
1.
|
Wajib Pajak luar negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia; dan
|
2.
|
Wajib Pajak luar
negeri lainnya.
|
Ayat (1)
Bagi Wajib
Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya
dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh sebagai
berikut.
-
|
Peredaran bruto
|
Rp6.000.000.000,00
| ||
-
|
Biaya
untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan |
Rp5.400.000.000,00 (-) | ||
-
|
Laba usaha (penghasilan neto usaha)
|
Rp
600.000.000,00
| ||
-
|
Penghasilan
lainnya
|
Rp50.000.000,00
|
||
-
|
Biaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya tersebut
|
Rp30.000.000,00 (-) |
||
Rp
20.000.000,00 (+)
| ||||
-
|
Jumlah
seluruh penghasilan neto
|
Rp
620.000.000,00
| ||
-
|
Kompensasi
kerugian
|
Rp
10.000.000,00 (-)
| ||
-
|
Penghasilan Kena Pajak
(bagi Wajib Pajak badan) |
Rp 610.000.000,00 | ||
-
|
Pengurangan berupa Penghasilan
Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi (isteri + 2
anak)
|
Rp 19.800.000,00 (-) | ||
-
|
Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib
Pajak orang pribadi)
|
|
Ayat (2)
Bagi Wajib
Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan pembukuan,
Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto dengan contoh sebagai berikut.
-
|
Peredaran bruto
|
Rp4.000.000.000,00
| ||
-
|
Penghasilan neto (menurut Norma Penghitungan) misalnya
20%
|
Rp
800.000.000,00
| ||
-
|
Penghasilan neto
lainnya
|
Rp
5.000.000,00 (+)
| ||
-
|
Jumlah
seluruh penghasilan neto
|
Rp
805.000.000,00
| ||
-
|
Penghasilan Tidak Kena Pajak (isteri + 3 anak)
|
Rp
21.120.000,00 (-)
| ||
-
|
Penghasilan Kena
Pajak
|
|
Ayat (3)
Bagi Wajib
Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya
pada dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak badan dalam negeri. Karena bentuk usaha tetap berkewajiban untuk
menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara
penghitungan biasa.
Contoh:
-
|
Peredaran bruto
|
Rp10.000.000.000,00
| ||
-
|
Biaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
|
Rp 8.000.000.000,00 (-) | ||
Rp
2.000.000.000,00
| ||||
-
|
Penghasilan
bunga
|
Rp
50.000.000,00
| ||
-
|
Penjualan langsung barang yang
sejenis dengan barang yang dijual bentuk usaha tetap oleh kantor
pusat
|
Rp2.000.000.000,00
|
||
-
|
Biaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
|
Rp1.500.000.000,00 (-) |
||
Rp
500.000.000,00
| ||||
-
|
Dividen
yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang mempunyai hubungan efektif dengan
bentuk usaha tetap
|
Rp1.000.000.000,00 (+) | ||
Rp3.550.000.000,00
| ||||
-
|
Biaya-biaya menurut
Pasal 5 ayat (3)
|
Rp
450.000.000,00 (-)
| ||
-
|
Penghasilan Kena
Pajak
|
|
Ayat (4)
Contoh:
Orang
pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai subjek pajak dalam
negeri adalah 3 (tiga) bulan dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh
penghasilan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) maka
penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya adalah sebagai berikut.
Penghasilan selama 3 (tiga)
bulan
|
Rp150.000.000,00
|
Penghasilan setahun
sebesar:
(360 :
(3x30)) x Rp150.000.000,00
|
Rp600.000.000,00
|
Penghasilan Tidak Kena
Pajak
|
Rp
15.840.000,00 (-)
|
Penghasilan Kena
Pajak
|
Rp584.160.000,00
|
Pasal 17
(UU
No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Tarif pajak yang diterapkan atas
Penghasilan Kena Pajak bagi :
| ||||||||||||||
| |||||||||||||||
(2)
|
Tarif tertinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
| ||||||||||||||
(2a)
|
Tarif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen)
yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
| ||||||||||||||
(2b)
|
Wajib Pajak
badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40%
(empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan
di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat
memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
| ||||||||||||||
(2c)
|
Tarif yang
dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan
bersifat final.
| ||||||||||||||
(2d)
|
Ketentuan
lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
| ||||||||||||||
(3)
|
Besarnya lapisan Penghasilan Kena
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
| ||||||||||||||
(4)
|
Untuk keperluan penerapan tarif
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak
dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
| ||||||||||||||
(5)
|
Besarnya pajak yang terutang bagi
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dihitung sebanyak jumlah
hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh)
dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
| ||||||||||||||
(6)
|
Untuk keperluan penghitungan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga
puluh) hari.
| ||||||||||||||
(7)
|
Dengan Peraturan Pemerintah dapat
ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana
tersebut pada ayat (1).
|
Penjelasan Pasal
17
Ayat (1)
Huruf a
Contoh
penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi:
Jumlah
Penghasilan Kena Pajak Rp600.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang :
5% x Rp
50.000.000,00
|
=
|
Rp
2.500.000,00
|
15% x
Rp200.000.000,00
|
=
|
Rp
30.000.000,00
|
25% x
Rp250.000.000,00
|
=
|
Rp
62.500.000,00
|
30% x
Rp100.000.000,00
|
=
|
Rp
30.000.000,00 (+)
|
Rp125.000.000,00
|
Huruf b
Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp1.250.000.000,00
Pajak
Penghasilan yang terutang:
28% x Rp1.250.000.000,00 = Rp350.000.000,00
Ayat (2)
Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini akan diberlakukan
secara nasional dimulai per 1 Januari, diumumkan selambat-lambatnya 1 (satu)
bulan sebelum tarif baru itu berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dalam rangka
penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ayat (2a)
Cukup
jelas.
Ayat (2b)
Cukup
jelas.
Ayat (2c)
Cukup
jelas.
Ayat (2d)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Besarnya
lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat
inflasi, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar
Rp5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi
Rp5.050.000,00.
Ayat (5) dan ayat (6)
Contoh :
Penghasilan Kena Pajak setahun
(dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4)):
Rp584.160.000,00
Pajak Penghasilan
setahun:
5% x Rp
50.000.000,00
|
=
|
Rp
2.500.000,00
|
15% x
Rp200.000.000,00
|
=
|
Rp
30.000.000,00
|
25% x
Rp250.000.000,00
|
=
|
Rp
62.500.000,00
|
30% x Rp
84.160.000,00
|
=
|
Rp
25.248.000,00 (+)
|
Rp120.248.000,00
|
Pajak
Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)
((3 x 30)
: 360) x Rp120.248.000,00 = Rp30.062.000,00
Ayat (7)
Ketentuan
pada ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak
tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak
tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penentuan tarif pajak
tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan, dan
pemerataan dalam pengenaan pajak.
Pasal 18
(UU
No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Menteri Keuangan berwenang
mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal
perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
| |
(2)
|
Menteri Keuangan berwenang
menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas
penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual
sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut :
| |
a.
|
besarnya penyertaan modal Wajib
Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah
saham yang disetor; atau
| |
b.
|
secara bersama-sama dengan Wajib
Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima
puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
| |
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang
untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan
utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa
dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen,
metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
| |
(3a)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang
melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas
pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku
selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan
renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
| |
(3b)
|
Wajib Pajak
yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau
badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company),
dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut
sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak
lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
| |
(3c)
|
Penjualan
atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special
purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang
memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan
istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau
pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
bentuk usaha tetap di Indonesia.
| |
(3d)
|
Besarnya
penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi
kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali,
dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran
lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.
| |
(3e)
|
Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3b), ayat (3c), dan ayat (3d) diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
| |
(4)
|
Hubungan istimewa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan
Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila :
| |
a.
|
Wajib Pajak mempunyai penyertaan
modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau
hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut
terakhir;
| |
b.
|
Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak
lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama
baik langsung maupun tidak langsung; atau
| |
c.
|
terdapat hubungan keluarga baik
sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu
derajat.
| |
(5)
|
Dihapus.
|
Penjelasan Pasal
18
Ayat (1)
Undang-Undang ini memberi wewenang
kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan
antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan
penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu
yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity
ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi
batas-batas kewajaran, pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak
sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak,
Undang-Undang ini menentukan adanya modal terselubung.
Istilah
modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar
akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran atau kelaziman usaha”
adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
yang sehat dalam dunia usaha.
Ayat (2)
Dengan
makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era
globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di
luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, terhadap penanaman
modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa
efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya dividen.
Contoh:
PT A dan
PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% (empat puluh persen) dan 20% (dua
puluh persen) pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd.
tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2009 X Ltd. memperoleh
laba setelah pajak sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam hal
demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan
dasar penghitungannya.
Ayat (3)
Maksud
diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak
yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan
istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari
semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal
demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib
Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah
penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan harga antara
pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga
penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method),
atau metode lainnya seperti metode pembagian laba (profit split method) dan
metode laba bersih transaksional (transactional net margin method).
Demikian
pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan
penyertaan modal tersebut sebagai utang maka Direktur Jenderal Pajak berwenang
untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut
dapat dilakukan, misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal
dan utang yang lazim terjadi di antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.
Dengan
demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai
penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi
pemegang saham yang menerima atau memperoleh bunga tersebut dianggap sebagai
dividen yang dikenai pajak.
Ayat (3a)
Kesepakatan harga transfer (Advance
Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur
Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan
diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan
transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak
dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain
harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung
pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan
kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga
jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup
yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara
Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan
Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut
Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Ayat (3b)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk
mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak yang melakukan pembelian
saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui
perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan tersebut (special
purpose company).
Ayat (3c)
Contoh:
X Ltd.
yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara yang memberikan
perlindungan pajak (tax haven country), memiliki 95% (sembilan puluh lima
persen) saham PT X yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. X Ltd.
ini adalah suatu perusahaan antara (conduit company) yang didirikan dan dimiliki
sepenuhnya oleh Y Co., sebuah perusahaan di negara B, dengan tujuan sebagai
perusahaan antara dalam kepemilikannya atas mayoritas saham PT X.
Apabila
Y Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X Ltd. kepada PT Z yang
merupakan Wajib Pajak dalam negeri, secara legal formal transaksi di atas
merupakan pengalihan saham perusahaan luar negeri oleh Wajib Pajak luar negeri.
Namun, pada hakikatnya transaksi ini merupakan pengalihan kepemilikan (saham)
perseroan Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib Pajak luar negeri sehingga atas
penghasilan dari pengalihan ini terutang Pajak Penghasilan.
Ayat (3d)
Cukup jelas.
Ayat (3e)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hubungan
istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau
keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan :
a.
|
kepemilikan atau penyertaan
modal; atau
|
b.
|
adanya penguasaan melalui manajemen
atau penggunaan teknologi.
|
Selain
karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi
dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.
Huruf a
Hubungan istimewa dianggap ada
apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak
langsung.
Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima
puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan
langsung.
Selanjutnya, apabila PT B mempunyai
50% (lima puluh persen) saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara
tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima
persen). Dalam hal demikian, antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat
hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham
PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan
istimewa.
Hubungan kepemilikan seperti di atas dapat juga terjadi antara orang
pribadi dan badan.
Huruf b
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena
penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat
hubungan kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada
di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara beberapa
perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat” adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan “hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah
saudara.
Yang dimaksud dengan “keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu
derajat” adalah mertua dan anak tiri, sedangkan “hubungan keluarga semenda dalam
garis keturunan ke samping satu derajat” adalah ipar.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Pasal 19
(UU
No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Menteri Keuangan berwenang
menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian
apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan
karena perkembangan harga.
|
(2)
|
Atas selisih penilaian kembali
aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri
dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
|
Penjelasan Pasal
19
Ayat (1)
Adanya
perkembangan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di bidang moneter
dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapat
mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Dalam keadaan demikian,
Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali
aktiva tetap (revaluasi) atau indeksasi biaya dan penghasilan.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
BAB V
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN
Pasal 20
(UU
No. 10 Tahun 1994)
(1)
|
Pajak yang diperkirakan akan
terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak
berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta
pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.
|
(2)
|
Pelunasan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
|
(3)
|
Pelunasan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap
Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali
untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat
final.
|
Penjelasan Pasal
20
Ayat (1)
Agar pelunasan pajak
dalam tahun pajak berjalan mendekati jumlah pajak yang akan terutang untuk tahun
pajak yang bersangkutan, maka pelaksanaannya dilakukan melalui:
a.
|
pemotongan pajak oleh
pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak dari pekerjaan, jasa
atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, pemungutan pajak atas
penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan pemotongan pajak
atas penghasilan dari modal, jasa dan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23.
|
b.
|
pembayaran oleh Wajib
Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25.
|
Ayat (2)
Pada dasarnya
pelunasan pajak dalam tahun berjalan dilakukan untuk setiap bulan, namun Menteri
Keuangan dapat menentukan masa lain, seperti saat dilakukannya transaksi atau
saat diterima atau diperolehnya penghasilan, sehingga pelunasan pajak dalam
tahun berjalan dapat dilaksanakan dengan baik.
Ayat (3)
Pelunasan pajak dalam
tahun pajak berjalan merupakan angsuran pembayaran pajak yang nantinya boleh
diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang
terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Dengan
pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat
waktu, dan pertimbangan lainnya, maka dapat diatur pelunasan pajak dalam tahun
berjalan yang bersifat final atas jenis-jenis penghasilan tertentu seperti
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23.
Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut tidak dapat dikreditkan dengan
Pajak Penghasilan yang terutang.
Pasal 21
(UU
No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Pemotongan pajak atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk
apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
wajib dilakukan oleh :
| |
a.
|
pemberi kerja yang membayar gaji,
upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan
pegawai;
| |
b.
|
bendahara pemerintah yang membayar
gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
| |
c.
|
dana pensiun atau badan lain yang
membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka
pensiun;
| |
d.
|
badan yang membayar honorarium atau
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli
yang melakukan pekerjaan bebas; dan
| |
e.
|
penyelenggara kegiatan yang
melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu
kegiatan.
| |
(2)
|
Tidak termasuk sebagai pemberi
kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a adalah kantor perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi
internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
| |
(3)
|
Penghasilan pegawai tetap atau
pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto
setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan
Tidak Kena Pajak.
| |
(4)
|
Penghasilan pegawai harian,
mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah
penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan
pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
| |
(5)
|
Tarif pemotongan atas penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan
Pemerintah.
| |
(5a)
|
Besarnya tarif sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang
diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib
Pajak.
| |
(6)
|
Dihapus.
| |
(7)
|
Dihapus.
| |
(8)
|
Ketentuan mengenai petunjuk
pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
atau kegiatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
21
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur tentang
pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Pihak yang wajib melakukan
pemotongan pajak adalah pemberi kerja, bendahara pemerintah, dana pensiun,
badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
Huruf a
Pemberi
kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah orang pribadi ataupun badan
yang merupakan induk, cabang, perwakilan, atau unit perusahaan yang membayar
atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan nama
apa pun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan. Dalam pengertian pemberi
kerja termasuk juga organisasi internasional yang tidak dikecualikan dari
kewajiban memotong pajak.
Yang
dimaksud dengan “pembayaran lain” adalah pembayaran dengan nama apa pun selain
gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain, seperti bonus,
gratifikasi, dan tantiem.
Yang
dimaksud dengan “bukan pegawai” adalah orang pribadi yang menerima atau
memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak
tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi
kerja.
Huruf b
Bendahara pemerintah termasuk
bendahara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah,
lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar
negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Yang termasuk juga dalam pengertian
bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang
sama.
Huruf c
Yang
termasuk “badan lain”, misalnya, adalah badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga kerja yang membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari
tua, dan pembayaran lain yang sejenis dengan nama apa pun.
Yang
termasuk dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain adalah
tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala ataupun tidak yang
dibayarkan kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari tua, dan penerima
tabungan hari tua.
Huruf d
Yang termasuk dalam pengertian
badan adalah organisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan ayat
(2). Yang termasuk tenaga ahli orang pribadi, misalnya, adalah dokter,
pengacara, dan akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan
atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
Huruf e
Penyelenggara kegiatan wajib
memotong pajak atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan
suatu kegiatan. Dalam pengertian penyelenggara kegiatan termasuk antara lain
badan, badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional,
perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan
kegiatan. Kegiatan yang diselenggarakan, misalnya kegiatan olahraga, keagamaan,
dan kesenian.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Bagi
pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah penghasilan bruto
dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Dalam pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari tua atau
tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai.
Bagi
pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan
bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam
pengertian pensiunan termasuk juga penerima tunjangan hari tua atau tabungan
hari tua.
Ayat (4)
Besarnya
penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai harian, mingguan, serta pegawai
tidak tetap lainnya adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan bagian
penghasilan yang tidak dikenai pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan, dengan memerhatikan Penghasilan Tidak Kena Pajak
yang berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat
(5a)
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan
kartu NPWP.
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp75.000.000,00
Pajak Penghasilan yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki
NPWP adalah:
5% x
Rp50.000.000,00
|
=
Rp2.500.000,00
|
15% x
Rp25.000.000,00
|
=
Rp3.750.000,00 (+)
|
Jumlah
|
Rp6.250.000,00
|
Pajak
Penghasilan yang harus dipotong jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP
adalah:
5% x
120% x Rp50.000.000,00
|
=
Rp3.000.000,00
|
15% x 120%
x Rp25.000.000,00
|
=
Rp4.500.000,00 (+)
|
Jumlah
|
Rp7.500.000,00
|
Ayat (6)
Cukup
jelas.
Ayat (7)
Cukup
jelas.
Ayat (8)
Cukup
jelas.
Pasal 22
(UU
No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Menteri Keuangan dapat menetapkan
:
| |
a.
|
bendahara pemerintah untuk memungut
pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
| |
b.
|
badan-badan tertentu untuk memungut
pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha di bidang lain; dan
| |
c.
|
Wajib Pajak badan tertentu untuk
memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat
mewah.
| |
(2)
|
Ketentuan mengenai dasar
pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
| |
(3)
|
Besarnya pungutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang
diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib
Pajak.
|
Penjelasan Pasal
22
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan ini, yang
dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah :
-
|
bendahara
pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan
dengan pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam pengertian
bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang
sama;
|
-
|
badan-badan tertentu, baik badan
pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau
kegiatan usaha di bidang lain, seperti kegiatan usaha produksi barang tertentu
antara lain otomotif dan semen; dan
|
-
|
Wajib
Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang
yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak badan tertentu
ini akan dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi kriteria tertentu
sebagai barang yang tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis barangnya
maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan
kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat
mewah.
|
Dalam pelaksanaan ketentuan
ini Menteri Keuangan mempertimbangkan, antara lain:
-
|
penunjukan
pemungut pajak secara selektif, demi pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif
dan efisien;
|
-
|
tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang;
dan
|
-
|
prosedur
pemungutan yang sederhana sehingga mudah
dilaksanakan.
|
Pemungutan
pajak berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta
masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk
tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dapat
bersifat final.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak
dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu
Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 23
(UU
No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Atas penghasilan tersebut di bawah
ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk
dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek
pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau
bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan
:
| ||
a.
|
sebesar 15% (lima belas
persen) dari jumlah bruto atas :
| ||
1.
|
dividen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf g;
| ||
2.
|
bunga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf f;
| ||
3.
|
royalti; dan
| ||
4.
|
hadiah, penghargaan, bonus, dan
sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
| ||
b.
|
dihapus;
| ||
c.
|
sebesar 2% (dua persen)
dari jumlah bruto atas :
| ||
1.
|
sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
| ||
2.
|
imbalan sehubungan dengan jasa
teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain
jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21.
| ||
(1a)
|
Dalam hal Wajib Pajak yang menerima
atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100%
(seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
| ||
(2)
|
Ketentuan
lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
| ||
(3)
|
Orang pribadi
sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
| ||
(4)
|
Pemotongan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas :
| ||
a.
|
penghasilan yang dibayar atau
terutang kepada bank;
| ||
b.
|
sewa yang dibayarkan atau terutang
sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
| ||
c.
|
dividen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);
| ||
d.
|
dihapus;
| ||
e.
|
bagian laba sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
| ||
f.
|
sisa hasil usaha koperasi
yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
| ||
g.
|
dihapus; dan
| ||
h.
|
penghasilan yang dibayar atau
terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur
pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
23
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (1a)
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak
dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu
Nomor Pokok Wajib Pajak.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Pasal 24
(UU
No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan
Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
| |
(2)
|
Besarnya kredit pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang
terutang berdasarkan Undang-undang ini.
| |
(3)
|
Dalam menghitung batas jumlah pajak
yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut :
| |
a.
|
penghasilan dari saham dan
sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya
adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut
didirikan atau bertempat kedudukan;
| |
b.
|
penghasilan berupa bunga, royalti,
dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak
yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat
kedudukan atau berada;
| |
c.
|
penghasilan berupa sewa sehubungan
dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut
terletak;
| |
d.
|
penghasilan berupa imbalan
sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang
membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau
berada;
| |
e.
|
penghasilan bentuk usaha tetap
adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan;
| |
f.
|
penghasilan dari pengalihan
sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan
atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi
penambangan berada;
| |
g.
|
keuntungan karena
pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada;
dan
| |
h.
|
keuntungan karena pengalihan harta
yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk
usaha tetap berada.
| |
(4)
|
Penentuan sumber penghasilan selain
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama
dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.
| |
(5)
|
Apabila pajak atas penghasilan dari
luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan,
maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah
tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
| |
(6)
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan
pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
24
Pada
dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan,
termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk
meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, ketentuan ini mengatur
tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang
di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh
penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.
Ayat (1)
Pajak atas
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan
terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah pajak yang langsung dikenakan
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
Contoh:
PT A di
Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara X. Z Inc.
tersebut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan sebesar US$100,000.00. Pajak
Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan Pajak Dividen adalah 38%.
Penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut :
Keuntungan Z
Inc
|
US$
100,000.00
|
Pajak Penghasilan
(Corporate income tax) atas Z Inc. (48%)
|
US$
48,000.00
(-)
|
US$
52,000.00
| |
Pajak atas dividen
(38%)
|
US$
19,760.00
(-)
|
Dividen yang dikirim
ke Indonesia
|
US$
32,240.00
|
Pajak
Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang
terutang atas PT A adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas yaitu jumlah
sebesar US$19,760.00.
Pajak
Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc. sebesar US$48,000.00 tidak dapat
dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A, karena pajak
sebesar US$48,000.00 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh PT A dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan
atas keuntungan Z Inc. di negara X.
Ayat (2)
Untuk
memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari luar negeri dan penghasilan yang diterima atau diperoleh di
Indonesia, maka besarnya pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia tetapi tidak boleh
melebihi besarnya pajak yang dihitung berdasarkan Undang-undang ini. Cara
penghitungan besarnya pajak yang dapat dikreditkan ditetapkan oleh Menteri
Keuangan berdasarkan wewenang sebagaimana diatur pada ayat (6).
Ayat (3) dan (4)
Dalam
perhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang menurut Undang-Undang
ini, penentuan sumber penghasilan menjadi sangat penting. Selanjutnya, ketentuan
ini mengatur tentang penentuan sumber penghasilan untuk memperhitungkan kredit
pajak luar negeri tersebut.
Mengingat
Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas, maka sesuai dengan
ketentuan pada ayat (4) penentuan sumber dari penghasilan selain yang tersebut
pada ayat (3) dipergunakan prinsip yang sama dengan prinsip sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tersebut, misalnya A sebagai Wajib Pajak dalam negeri memiliki
sebuah rumah di Singapura dan dalam tahun 1995 rumah tersebut dijual. Keuntungan
yang diperoleh dari penjualan rumah tersebut merupakan penghasilan yang
bersumber di Singapura karena rumah tersebut terletak di Singapura.
Ayat (5)
Apabila
terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di
luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi
lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya ditambahkan pada
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang ini. Misalnya, dalam tahun
1996, Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak atas penghasilan luar negeri tahun
pajak 1995 sebesar Rp5.000.000,00 yang semula telah termasuk dalam jumlah pajak
yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang untuk tahun pajak 1995, maka
jumlah sebesar Rp5.000.000,00 tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang
terutang dalam tahun pajak 1996.
Ayat (6)
Cukup
jelas.
Pasal 25
(UU
No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Besarnya angsuran pajak dalam tahun
pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan
adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan :
| |
a.
|
Pajak Penghasilan yang dipotong
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang
dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
| |
b.
|
Pajak Penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24,
| |
dibagi 12 (dua belas) atau
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
| ||
(2)
|
Besarnya angsuran pajak yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak
untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
| |
(3)
|
Dihapus.
| |
(4)
|
Apabila dalam tahun pajak berjalan
diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, besarnya angsuran
pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku
mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
| |
(5)
|
Dihapus.
| |
(6)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang
untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan
dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut :
| |
a.
|
Wajib Pajak berhak atas kompensasi
kerugian;
| |
b.
|
Wajib Pajak memperoleh
penghasilan tidak teratur;
| |
c.
|
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang
ditentukan;
| |
d.
|
Wajib Pajak diberikan perpanjangan
jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan;
| |
e.
|
Wajib Pajak membetulkan sendiri
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran
bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
dan
| |
f.
|
terjadi perubahan keadaan
usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
| |
(7)
|
Menteri Keuangan menetapkan
penghitungan besarnya angsuran pajak bagi :
| |
a.
|
Wajib Pajak
baru;
| |
b.
|
bank, badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan
keuangan berkala; dan
| |
c.
|
Wajib Pajak orang pribadi pengusaha
tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen)
dari peredaran bruto.
| |
(8)
|
Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua
puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
| |
(8a)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (8) berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2010.
| |
(9)
|
Dihapus.
|
Penjelasan Pasal
25
Ketentuan ini mengatur tentang
penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak
sendiri dalam tahun berjalan.
Ayat (1)
Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutang
berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
| |||
tahun 2009
|
Rp50.000.000,00
| ||
dikurangi :
|
|||
a.
|
Pajak
Penghasilan yang dipotong pemberi Kerja (Pasal 21)
|
Rp15.000.000,00
|
|
b.
|
Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (Pasal
22)
|
Rp10.000.000,00
|
|
c.
|
Pajak
Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (Pasal 23)
|
Rp
2.500.000,00
|
|
d.
|
Kredit Pajak Penghasilan luar negeri (Pasal 24)
|
Rp
7.500.000,00 (+)
|
|
Jumlah
kredit pajak
|
Rp35.000.000,00 (-)
| ||
Selisih
|
Rp15.000.000,00
|
Besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010 adalah
sebesar Rp1.250.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 12).
Contoh 2:
Apabila
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas berkenaan dengan
penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi
masa 6 (enam) bulan dalam tahun 2009, besarnya angsuran bulanan yang harus
dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2010 adalah sebesar Rp2.500.000,00
(Rp15.000.000,00 dibagi 6).
Ayat (2)
Mengingat
batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib
Pajak orang pribadi adalah akhir bulan ketiga tahun pajak berikutnya dan bagi
Wajib Pajak badan adalah akhir bulan keempat tahun pajak berikutnya, besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan
sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan belum dapat
dihitung sesuai dengan ketentuan pada ayat (1).
Berdasarkan ketentuan ini, besarnya
angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak
yang lalu.
Contoh:
Apabila
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib Pajak orang
pribadi pada bulan Februari 2010, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar
Wajib Pajak tersebut untuk bulan Januari 2010 adalah sebesar angsuran pajak
bulan Desember 2009, misalnya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Apabila
dalam bulan September 2009 diterbitkan keputusan pengurangan angsuran pajak
menjadi nihil sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan Desember
2009 menjadi nihil, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk
bulan Januari 2010 tetap sama dengan angsuran bulan Desember 2009, yaitu nihil.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Apabila
dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang
lalu, angsuran pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut.
Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan
diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Contoh:
Berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2009 yang disampaikan Wajib Pajak dalam
bulan Februari 2010, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar
adalah sebesar Rp1.250.000,00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Dalam bulan Juni 2010 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2009
yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp2.000.000,00
(dua juta rupiah).
Berdasarkan ketentuan dalam ayat
ini, besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli 2010 adalah sebesar Rp2.000.000,00
(dua juta rupiah). Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan
pajak tersebut bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil dari angsuran pajak
sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Ayat (6)
Pada
dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun
berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang
pada akhir tahun. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini dalam hal-hal
tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikan
perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
dalam tahun berjalan apabila terdapat kompensasi kerugian; Wajib Pajak menerima
atau memperoleh penghasilan tidak teratur; atau terjadi perubahan keadaan usaha
atau kegiatan Wajib Pajak.
Contoh 1:
-
|
Penghasilan PT X tahun
2009
|
Rp120.000.000,00
|
-
|
Sisa kerugian tahun
sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan
|
Rp150.000.000,00
|
-
|
Sisa kerugian yang belum
dikompensasikan tahun 2009
|
Rp
30.000.000,00
|
Penghitungan Pajak Penghasilan
Pasal 25 tahun 2010 adalah:
Penghasilan yang dipakai dasar
penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 = Rp120.000.000,00 -
Rp30.000.000,00 = Rp90.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang
:
28% x
Rp90.000.000,00 = Rp25.200.000,00
Apabila
pada tahun 2009 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh
pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 24, besarnya angsuran pajak bulanan PT X tahun 2010 = 1/12
x Rp25.200.000,00 = Rp2.100.000,00.
Contoh 2:
Dalam
tahun 2009, penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang Rp48.000.000,00
(empat puluh delapan juta rupiah) dan penghasilan tidak teratur sebesar
Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Penghasilan yang dipakai sebagai
dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun 2010
adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.
Contoh 3:
Perubahan
keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi karena penurunan atau
peningkatan usaha. PT B yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 2009
membayar angsuran bulanan sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Dalam bulan Juni 2009 pabrik milik PT B terbakar. Oleh karena itu,
berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2009 angsuran
bulanan PT B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp15.000.000,00 (lima
belas juta rupiah).
Sebaliknya, apabila PT B mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya
peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih
besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kewajiban angsuran bulanan PT B
dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (7)
Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun
berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
yang lalu. Namun, ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk
menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan
prinsip tersebut di atas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mendekati kewajaran
perhitungan besarnya angsuran pajak karena didasarkan kepada data terkini
kegiatan usaha perusahaan.
Huruf a
Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan dalam tahun pajak berjalan perlu diatur perhitungan besarnya angsuran,
karena Wajib Pajak belum pernah memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan, penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan usaha
atau kegiatan Wajib Pajak.
Huruf b
Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, badan usaha milik
negara dan badan usaha milik daerah, serta Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib
Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan
berkala perlu diatur perhitungan besarnya angsuran tersendiri karena terdapat
kewajiban menyampaikan laporan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam
suatu periode tertentu kepada instansi Pemerintah yang dapat dipakai sebagai
dasar penghitungan untuk menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun
berjalan.
Huruf c
Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak
orang pribadi yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha, besarnya angsuran
pajak paling tinggi sebesar 0,75% (nol koma tujuh lima persen) dari peredaran
bruto.
Ayat (8)
Cukup
jelas.
Ayat (8a)
Cukup
jelas.
Ayat (9)
Cukup
jelas.
Pasal 26
(UU
No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Atas penghasilan tersebut di bawah
ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk
dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek
pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk
usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari
jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan :
| |
a.
|
dividen;
| |
b.
|
bunga termasuk premium,
diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian
utang;
| |
c.
|
royalti, sewa, dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta;
| |
d.
|
imbalan sehubungan dengan
jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
| |
e.
|
hadiah dan
penghargaan;
| |
f.
|
pensiun dan pembayaran berkala
lainnya;
| |
g.
|
premi swap dan transaksi lindung
nilai lainnya; dan/atau
| |
h.
|
keuntungan karena pembebasan
utang.
| |
(1a)
|
Negara domisili dari Wajib Pajak
luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara
tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya
menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial
owner).
| |
(2)
|
Atas penghasilan dari penjualan
atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2),
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap
di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar
negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan
neto.
| |
(2a)
|
Atas penghasilan dari penjualan
atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) dipotong
pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan
neto.
| |
(3)
|
Pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
| |
(4)
|
Penghasilan Kena Pajak sesudah
dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar
20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
| |
(5)
|
Pemotongan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat (4) bersifat final,
kecuali :
| |
a.
|
pemotongan atas penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c;
dan
| |
b.
|
pemotongan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status
menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap.
|
Penjelasan Pasal
26
Atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia,
Undang-Undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri
kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dan pemotongan
oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ketentuan
ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Ayat (1)
Pemotongan
pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, subjek
pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dengan tarif sebesar 20% (dua
puluh persen) dari jumlah bruto.
Jenis-jenis penghasilan yang wajib
dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam :
1.
|
penghasilan yang bersumber dari
modal dalam bentuk dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena
jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
|
2.
|
imbalan sehubungan dengan
jasa, pekerjaan, atau kegiatan;
|
3.
|
hadiah dan penghargaan
dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
|
4.
|
pensiun dan pembayaran berkala
lainnya;
|
5.
|
premi swap dan transaksi lindung
nilai lainnya; dan/atau
|
6.
|
keuntungan karena pembebasan
utang.
|
Sesuai
dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan subjek pajak dalam negeri membayarkan
royalti sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada Wajib Pajak luar
negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak
Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Sebagai
contoh lain, seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam
perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian merebut hadiah uang maka atas
hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh
persen).
Ayat (1a)
Negara
domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia yang menerima
penghasilan dari Indonesia ditentukan berdasarkan tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut
(beneficial owner). Oleh karena itu, negara domisili tidak hanya ditentukan
berdasarkan Surat Keterangan Domisili, tetapi juga tempat tinggal atau tempat
kedudukan dari penerima manfaat dari penghasilan dimaksud.
Dalam hal
penerima manfaat adalah orang pribadi, negara domisilinya adalah negara tempat
orang pribadi tersebut bertempat tinggal atau berada, sedangkan apabila penerima
manfaat adalah badan, negara domisilinya adalah negara tempat pemilik atau lebih
dari 50% (lima puluh persen) pemegang saham baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama berkedudukan atau efektif manajemennya berada.
Ayat (2)
Ketentuan
ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penghasilan dari penjualan
atau pengalihan harta, dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi. Atas
penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari
perkiraan penghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan
wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto dimaksud, serta
hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak tersebut.
Ketentuan
ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia atau
apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenai pajak
berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).
Ayat (2a)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Atas
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di
Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak
bentuk usaha tetap
di Indonesia dalam tahun
2009
|
Rp17.500.000.000,00
| |
Pajak Penghasilan:
28% x Rp17.500.000.000,00
=
|
Rp 4.900.000.000,00
(-)
| |
Penghasilan Kena Pajak
setelah pajak
|
Rp12.600.000.000,00
|
Pajak
Penghasilan Pasal 26 yang terutang
20% x
Rp12.600.000.000 = Rp2.520.000.000,00
Apabila
penghasilan setelah pajak sebesar Rp12.600.000.000,00 (dua belas miliar enam
ratus juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas penghasilan tersebut tidak dipotong
pajak.
Ayat (5)
Pada
prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final,
tetapi atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan
huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri
yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat
dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Contoh:
A sebagai
tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib
Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan
terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009. Pada tanggal 20 April 2009 perjanjian
kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir
pada tanggal 31 Agustus 2009.
Jika
perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah tetap sebagai
Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut,
status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri
terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009. Selama bulan Januari sampai dengan Maret
2009 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT
B.
Berdasarkan ketentuan ini, maka
untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa
Januari sampai dengan Agustus 2009, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah
dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat
dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
Pasal 27
(UU
No. 10 Tahun 1994)
Dihapus.
Penjelasan Pasal
27
Cukup jelas.
BAB VI
PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN
PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN
Pasal 28
(UU
No. 10 Tahun 1994)
(1)
|
Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk
tahun pajak yang bersangkutan, berupa :
| |
a.
|
pemotongan pajak atas
penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21;
| |
b.
|
pemungutan pajak atas penghasilan
dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22;
| |
c.
|
pemotongan pajak atas penghasilan
berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
| |
d.
|
pajak yang dibayar atau terutang
atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24;
| |
e.
|
pembayaran yang dilakukan oleh
Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
| |
f.
|
pemotongan pajak atas penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5).
| |
(2)
|
Sanksi administrasi berupa bunga,
denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku tidak
boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
|
Penjelasan Pasal
28
Ayat (1)
Pajak yang
telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
ataupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan terhadap
pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.
Contoh:
Pajak Penghasilan yang
terutang
|
Rp80.000.000,00
| ||
Kredit pajak:
|
|||
Pemotongan pajak dari
pekerjaan (Pasal 21)
|
Rp
5.000.000,00
|
||
Pemungutan pajak oleh pihak
lain (Pasal 22)
|
Rp10.000.000,00
|
||
Pemotongan pajak dari modal
(Pasal 23)
|
Rp
5.000.000,00
|
||
Kredit pajak luar negeri
(Pasal 24)
|
Rp15.000.000,00
|
||
Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
(Pasal 25)
|
Rp10.000.000,00 (+)
|
||
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat
dikreditkan
|
Rp45.000.000,00 (-)
| ||
Pajak Penghasilan yang masih harus
dibayar
|
|
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 28A
(UU
No. 10 Tahun 1994)
Apabila pajak yang terutang untuk
suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut
sanksi-sanksinya.
Penjelasan Pasal
28A
Sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang
untuk mengadakan pemeriksaan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan
kelebihan pajak.
Hal-hal yang harus
menjadi pertimbangan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan
pajak adalah:
a.
|
kebenaran
materiil tentang besarnya pajak penghasilan yang
terutang;
|
b.
|
keabsahan bukti-bukti
pungutan dan bukti-bukti potongan pajak serta bukti pembayaran pajak oleh Wajib
Pajak sendiri selama dan untuk tahun pajak yang
bersangkutan.
|
Oleh karena itu untuk
kepentingan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat lain yang ditunjuk
diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan atas laporan keuangan, buku-buku,
dan catatan lainnya serta pemeriksaan lain yang berkaitan dengan penentuan
besarnya Pajak
Penghasilan yang
terutang, kebenaran jumlah pajak dan jumlah pajak yang telah dikreditkan dan
untuk menentukan besarnya kelebihan pembayaran pajak yang harus dikembalikan.
Maksud
pemeriksaan ini untuk memastikan bahwa uang yang akan dibayar kembali kepada
Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan hak Wajib
Pajak.
Pasal 29
(UU
No. 36 Tahun 2008)
Apabila pajak yang terutang untuk
suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang
harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan.
Penjelasan Pasal
29
Ketentuan ini mewajibkan Wajib
Pajak untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan
Undang-Undang ini sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan dan paling lambat pada batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan. Apabila tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak
tersebut wajib dilunasi paling lambat tanggal 31 Maret bagi Wajib Pajak orang
pribadi atau 30 April bagi Wajib Pajak badan setelah tahun pajak berakhir,
sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengan tahun kalender, misalnya dimulai
tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni, kekurangan pajak wajib dilunasi paling
lambat tanggal 30 September bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 31 Oktober bagi
Wajib Pajak badan.
Pasal
30 (UU No. 10 Tahun 1994)
Dihapus.
Penjelasan Pasal
30
Cukup jelas.
Pasal
31 (UU No. 10 Tahun 1994)
Dihapus.
Penjelasan Pasal
31
Cukup jelas.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 31A
(UU
No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Kepada Wajib Pajak yang melakukan
penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah
tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat diberikan
fasilitas perpajakan dalam bentuk :
| |
a.
|
pengurangan penghasilan neto paling
tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang
dilakukan;
| |
b.
|
penyusutan dan amortisasi yang
dipercepat;
| |
c.
|
kompensasi kerugian yang lebih
lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
| |
d.
|
pengenaan Pajak Penghasilan atas
dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen),
kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan
lebih rendah.
| |
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai
bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu yang mendapat
prioritas tinggi dalam skala nasional serta pemberian fasilitas perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
Penjelasan Pasal
31A
Ayat (1)
Salah satu
prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam Undang-Undang perpajakan adalah
diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap
kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang hakikatnya sama, dengan berpegang pada
ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam
bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas
dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan
tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan
diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk mendorong kegiatan investasi
langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal
dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu
yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional.
Ketentuan
ini juga dapat digunakan untuk menampung kemungkinan perjanjian dengan
negara-negara lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang lainnya.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal
31B (UU No. 36 Tahun 2008)
Dihapus.
Penjelasan Pasal
31B
Cukup jelas.
Pasal
31C (UU No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Penerimaan negara dari Pajak
Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat
dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak
terdaftar.
|
(2)
|
Dihapus.
|
Penjelasan Pasal
31C
Cukup
jelas.
Pasal 31D
(UU
No. 36 Tahun 2008)
Ketentuan
mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang
usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara, dan bidang
usaha berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
Penjelasan Pasal
31D
Cukup jelas.
Pasal 31E
(UU
No. 36 Tahun 2008)
(1)
|
Wajib Pajak
badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar
50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah).
|
(2)
|
Besarnya
bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
31E
Ayat
(1)
Contoh
1:
Peredaran
bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima
ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Penghitungan pajak yang
terutang:
Seluruh
Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai
tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang
berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Pajak
Penghasilan yang terutang:
(50% x
28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00
Contoh
2:
Peredaran
bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar
rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang :
1.
|
Jumlah
Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
:
(Rp4.800.000.000,00 :
Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00 =
Rp480.000.000,00
|
2.
|
Jumlah
Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh
fasilitas:
Rp3.000.000.000,00 –
Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00
|
Pajak
Penghasilan yang terutang:
-
|
(50% x
28%) x Rp480.000.000,00
|
= Rp
67.200.000,00
|
-
|
28% x
Rp2.520.000.000,00
|
= Rp705.600.000,00
(+)
|
Jumlah Pajak Penghasilan yang
terutang
|
Rp772.800.000,00
|
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal 32
(UU
No. 36 Tahun 2008)
Tata cara pengenaan pajak dan
sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Penjelasan Pasal
32
Cukup
jelas.
Pasal 32A
(UU
No. 17 Tahun 2000)
Pemerintah berwenang untuk
melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran
pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
Penjelasan Pasal
32A
Dalam rangka
peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu
perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak
pemajakan dari masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan
menghindarkan pengenaan pajak berganda serta mencegah pengelakan pajak.
Adapun bentuk dan materinya mengacu pada konvensi internasional dan
ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional masing-masing
negara.
Pasal 32B (UU No. 36
Tahun 2008)
Ketentuan mengenai pengenaan pajak atas bunga atau diskonto Obligasi
Negara yang diperdagangkan di negara lain berdasarkan perjanjian perlakuan
timbal balik dengan negara lain tersebut diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Penjelasan Pasal
32B
Dalam rangka memperluas
pasar Obligasi Negara, pemerintah dapat mengenakan tarif khusus yang lebih
rendah atau membebaskan pengenaan pajak atas Obligasi Negara yang diperdagangkan
di bursa negara lain. Pemerintah hanya dapat mengenakan perlakuan khusus ini
sepanjang negara lain tersebut juga memberikan perlakuan yang sama atas obligasi
negara lain tersebut yang diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal
33 (UU No. 7 Tahun 1983)
(1)
|
Wajib Pajak
yang tahun bukunya berakhir pada tanggal 30 Juni 1984 serta yang berakhir antara
tanggal 30 Juni 1984 dan tanggal 31 Desember 1984 dapat memilih cara menghitung
pajaknya berdasarkan ketentuan dalam Ordonansi Pajak Perseroan 1925 atau
Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, atau berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang
ini.
| |
(2)
|
Fasilitas
perpajakan yang telah diberikan sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yang
:
| |
a.
|
jangka
waktunya terbatas, dapat dinikmati oleh Wajib Pajak yang bersangkutan sampai
selesai;
| |
b.
|
jangka
waktunya tidak ditentukan, dapat dinikmati sampai dengan tahun pajak sebelum
tahun pajak 1984.
| |
(3)
|
Penghasilan
Kena Pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas
bumi serta dalam bidang penambangan lainnya sehubungan dengan Kontrak Karya dan
Kontrak Bagi Hasil, yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini,
dikenakan pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan 1925
dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 beserta semua
peraturan pelaksanaannya.
|
Penjelasan Pasal
33
Ayat (1)
Bagi Wajib
Pajak yang tahun berjalan merupakan tahun buku, maka ada kemungkinan bahwa
sebagian dari tahun pajak itu termasuk di dalam tahun takwim 1984. Menurut
ketentuan ayat ini, maka apabila 6 (enam) bulan dari tahun pajak itu termasuk
dalam tahun takwim 1984 Wajib Pajak diperkenankan untuk memilih apakah mau
mempergunakan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 atau Ordonansi Pajak Pendapatan
1944, ataupun memilih penerapan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam
Undang-undang ini. Kesempatan memilih semacam itu berlaku pula bagi Wajib Pajak
yang lebih dari 6 (enam) bulan dari tahun pajaknya termasuk di dalam tahun
takwim 1984.
Ayat
(2)
Huruf a
Fasilitas
perpajakan yang jangka waktunya terbatas misalnya fasilitas perpajakan
berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang sudah
diberikan sampai dengan tanggal 31 Desember 1983 masih tetap dapat dinikmati
sampai dengan habisnya fasilitas perpajakan tersebut.
Huruf b
Fasilitas
perpajakan yang jangka waktunya tidak ditentukan, tidak dapat dinikmati lagi
terhitung mulai tanggal berlakunya Undang-undang ini, misalnya :
-
|
fasilitas
perpajakan yang diberikan kepada PT Danareksa, berupa pembebasan Pajak Perseroan
atas laba usaha dan pembebasan Bea Meterai Modal atas penempatan dan penyetoran
modal saham, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No:
KEP-1680/MK/II/12/1976 tanggal 28 Desember 1976;
|
-
|
fasilitas
perpajakan yang diberikan kepada perusahaan Perseroan Terbatas yang menjual
saham-sahamnya melalui Pasar Modal, berupa keringanan tarif Pajak Perseroan,
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 112/KMK.04/1979 tanggal 27 Maret
1979.
|
Ayat
(3)
Ordonansi
Pajak Perseroan 1925, dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty
1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya tetap berlaku terhadap Penghasilan
Kena Pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas
bumi dan dalam bidang penambangan lainnya yang dilakukan dalam rangka perjanjian
Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, sepanjang perjanjian Kontrak Karya
dan Kontrak Bagi Hasil tersebut masih berlaku pada saat
berlakunya Undang-undang ini.
Ketentuan
Undang-undang ini baru berlaku terhadap Penghasilan Kena Pajak yang diterima
atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi yang dilakukan dalam
bentuk perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, apabila perjanjian
Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut dibuat setelah berlakunya
Undang-undang ini.
Pasal 33A
(UU
No. 10 Tahun 1994)
(1)
|
Wajib Pajak yang tahun bukunya
berakhir setelah tanggal 30 Juni 1995 wajib menghitung pajaknya berdasarkan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang ini.
|
(2)
|
Wajib Pajak yang memperoleh
fasilitas perpajakan dan telah mendapat keputusan tentang saat mulai berproduksi
sebelum tanggal 1 Januari 1995, maka fasilitas perpajakan dimaksud dapat
dinikmati sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan.
|
(3)
|
Fasilitas perpajakan yang telah
diberikan, berakhir pada tanggal 31 Desember 1994, kecuali fasilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
|
(4)
|
Wajib Pajak yang menjalankan usaha
di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan
lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang
ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak
Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan
berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama
dimaksud.
|
Penjelasan Pasal
33A
Ayat (1)
Apabila
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir tanggal 30 Juni 1995 atau
sebelumnya (tidak sama dengan tahun takwim), maka tahun buku tersebut adalah
tahun pajak 1994. Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung
berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. Sedangkan bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya
berakhir setelah tanggal 30 Juni 1995, wajib menghitung pajaknya mulai tahun
pajak 1995 berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang ini.
Ayat (2) dan Ayat
(3)
Wajib Pajak yang telah memperoleh
Keputusan Menteri Keuangan mengenai fasilitas perpajakan tentang saat mulai
berproduksi yang diterbitkan sebelum tanggal 1 Januari 1995 dapat menikmati
fasilitas perpajakan yang diberikan sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan
dalam keputusan yang bersangkutan. Dengan demikian sejak 1 Januari 1995
keputusan tentang saat mulai berproduksi tidak diterbitkan lagi.
Ayat (4)
Ketentuan
pajak dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama
pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang
ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak bagi hasil,
kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan tersebut.
Walaupun Undang-undang ini sudah mulai berlaku, namun kewajiban pajak bagi Wajib
Pajak yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya atau perjanjian
kerjasama pengusahaan pertambangan tetap dihitung berdasar kontrak atau
perjanjian dimaksud.
Dengan
demikian, ketentuan Undang-undang ini baru diberlakukan untuk pengenaan pajak
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak di bidang pengusahaan
pertambangan minyak dan gas bumi dan pengusahaan pertambangan umum lainnya yang
dilakukan dalam bentuk kontrak karya, kontrak bagi hasil, atau perjanjian
kerjasama pengusahaan pertambangan, yang ditanda tangani setelah berlakunya
Undang-undang ini.
Pasal 34
(UU
No. 10 Tahun 1994)
Peraturan pelaksanaan di bidang
Pajak Penghasilan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-undang ini.
Penjelasan Pasal
34
Cukup
jelas.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
(UU
No. 36 Tahun 2008)
Hal-hal yang belum cukup diatur
dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Penjelasan Pasal
35
Dengan peraturan pemerintah diatur
lebih lanjut hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan
Undang-Undang ini, yaitu semua peraturan yang diperlukan agar Undang-Undang ini
dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk pula peraturan peralihan.
Catatan :
1.
|
Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2001
wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
Apabila Wajib Pajak menggunakan
tahun buku yang berakhir tanggal 30 Juni 2001 atau sebelumnya (tidak sama dengan
tahun kalender), tahun buku tersebut adalah tahun pajak 2000. Pajak yang
terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan, sedangkan Wajib Pajak yang tahun bukunya
berakhir setelah tanggal 30 Juni 2001 wajib menghitung pajaknya mulai tahun
pajak 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
(sesuai dengan bunyi Pasal
II Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan).
|
2.
|
Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009
wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang ini.
Apabila Wajib Pajak menggunakan
tahun buku yang berakhir tanggal 30 Juni 2009 atau sebelumnya (tidak sama dengan
tahun kalender), tahun buku tersebut adalah tahun pajak 2008. Pajak yang
terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan, sedangkan Wajib Pajak yang tahun bukunya
berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009 wajib menghitung pajaknya mulai tahun
pajak 2009 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
ini.
(sesuai dengan bunyi Pasal
II Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan).
|
3.
|
Undang-Undang ini mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 2009.
(sesuai dengan bunyi Pasal
II Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan).
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar