BAB
I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
(UU No. 28
Tahun 2007)
Dalam Undang-Undang ini
yang dimaksud dengan :
1.
|
Pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
|
2.
|
Wajib Pajak
adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
3.
|
Badan adalah
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha
tetap.
|
4.
|
Pengusaha
adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah
pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah
pabean.
|
5.
|
Pengusaha
Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
|
6.
|
Nomor Pokok
Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau
identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya.
|
7.
|
Masa Pajak
adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
|
8.
|
Tahun Pajak
adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan
tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
9.
|
Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun
Pajak.
|
10.
|
Pajak yang
terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak,
dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
11.
|
Surat
Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak,
dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
|
12.
|
Surat
Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa
Pajak.
|
13.
|
Surat
Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau
Bagian Tahun Pajak.
|
14.
|
Surat Setoran
Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui
tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
|
15.
|
Surat
ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak
Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
|
16.
|
Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus
dibayar.
|
17.
|
Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan.
|
18.
|
Surat
Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok
pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan
tidak ada kredit pajak.
|
19.
|
Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak
yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
|
20.
|
Surat Tagihan
Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi
berupa bunga dan/atau denda.
|
21.
|
Surat Paksa
adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan
pajak.
|
22.
|
Kredit Pajak
untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan
pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
|
23.
|
Kredit Pajak
untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah
dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak
yang terutang.
|
24.
|
Pekerjaan
bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian
khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu
hubungan kerja.
|
25.
|
Pemeriksaan
adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau
bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
|
26.
|
Bukti
Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan,
atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau
telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa
saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara.
|
27.
|
Pemeriksaan
Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti
permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang
perpajakan.
|
28.
|
Penanggung
Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran
pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
|
29.
|
Pembukuan
adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan
data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan
dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi
untuk periode Tahun Pajak tersebut.
|
30.
|
Penelitian
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian
Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang
kebenaran penulisan dan penghitungannya.
|
31.
|
Penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan
tersangkanya.
|
32.
|
Penyidik
adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
|
33.
|
Surat
Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis,
kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan
pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan
Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak,
Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan
Bunga.
|
34.
|
Surat
Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat
ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang
diajukan oleh Wajib Pajak.
|
35.
|
Putusan
Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
36.
|
Putusan
Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan
gugatan.
|
37.
|
Putusan
Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan
kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak
terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan
pajak.
|
38.
|
Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang
menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak
tertentu.
|
39.
|
Surat
Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah
imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
|
40.
|
Tanggal
dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal
disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau
putusan disampaikan secara langsung.
|
41.
|
Tanggal
diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam
hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau
putusan diterima secara langsung.
|
Penjelasan Pasal
1
Cukup
jelas.
BAB
II
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK,
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK,
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK,
SURAT
PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN
PAJAK
Pasal 2 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Setiap Wajib
Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada
kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib
Pajak.
| |
(2)
|
Setiap Wajib
Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak.
| |
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan:
| |
|
a.
|
tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha selain yang
ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2); dan/atau
|
|
b.
|
tempat
pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak orang pribadi
pengusaha tertentu.
|
(4)
|
Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena
Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ayat (2).
| |
(4a)
|
Kewajiban
perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan
objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling
lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
| |
(5)
|
Jangka waktu
pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penghapusan
Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
| |
(6)
|
Penghapusan
Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
| |
|
a.
|
diajukan
permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli
warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau
objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
|
|
b.
|
Wajib
Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan
usaha;
|
|
c.
|
Wajib
Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia;
atau
|
|
d.
|
dianggap
perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak
dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau
objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
|
(7)
|
Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas
permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak
badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
| |
(8)
|
Direktur
Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan
pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
| |
(9)
|
Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas
permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6
(enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
|
Penjelasan Pasal 2
Ayat (1)
Semua
Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self
assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk
dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib
Pajak.
Persyaratan subjektif adalah
persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif adalah
persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau
diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Kewajiban
mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak
secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau
dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan
harta.
Wanita
kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan
kewajiban perpajakan suaminya.
Nomor
Pokok Wajib Pajak tersebut merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan
yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh
karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib
Pajak. Selain itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga
ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan.
Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan
mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang
tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat
(2)
Setiap
Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha
orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat
kegiatan usaha dilakukan, sedangkan bagi Pengusaha badan berkewajiban melaporkan
usahanya tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha
dilakukan.
Dengan
demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan
usaha di wilayah beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
Fungsi
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas
Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan
kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.
Terhadap
Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat
(3)
Terhadap
Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat
menentukan kantor Direktorat Jenderal Pajak selain yang ditentukan pada ayat (1)
dan ayat (2), sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Selain
itu, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang
pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya
pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, di
samping wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan
mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.
Ayat
(4)
Terhadap
Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk
mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok
Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini
dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh
Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha
tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (4a)
Ayat ini
mengatur bahwa dalam penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan
sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan harus memperhatikan saat
terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari Wajib Pajak yang
bersangkutan. Selanjutnya terhadap Wajib Pajak tersebut tidak dikecualikan dari
pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian
hukum kepada Wajib Pajak maupun Pemerintah berkaitan dengan kewajiban Wajib
Pajak untuk mendaftarkan diri dan hak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya terhadap Wajib Pajak
diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan pada tahun 2008 dan ternyata
Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan terhitung sejak tahun 2005,
kewajiban perpajakannya timbul terhitung sejak tahun 2005.
Ayat
(5)
Kewajiban
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan kewajiban
melaporkan usaha untuk memperoleh pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dibatasi
jangka waktunya karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan
kewajiban mengenakan pajak terutang. Pengaturan tentang jangka waktu pendaftaran
dan pelaporan tersebut, tata cara pemberian dan penghapusan Nomor Pokok Wajib
Pajak serta pengukuhan dan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (6)
Cukup
jelas.
Ayat
(7)
Cukup
jelas.
Ayat
(8)
Cukup
jelas.
Ayat
(9)
Cukup
jelas.
Pasal 2A
(UU No. 28
Tahun 2007)
Masa Pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
Penjelasan Pasal
2A
Cukup
jelas.
Pasal 3 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Setiap Wajib
Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam
bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang
Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
| |
(1a)
|
Wajib Pajak
yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan
dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan
Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang
selain Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
| |
(1b)
|
Penandatanganan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan
stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai
kekuatan hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
| |
(2)
|
Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) mengambil sendiri Surat
Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau
mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
| |
(3)
|
Batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
| |
|
a.
|
untuk
Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa
Pajak;
|
|
b.
|
untuk
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling
lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
|
|
c.
|
untuk
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4
(empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
|
(3a)
|
Wajib
Pajak dengan kriteria tertentu dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1
(satu) Surat Pemberitahuan Masa.
| |
(3b)
|
Wajib Pajak
dengan kriteria tertentu dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
| |
(3c)
|
Batas waktu
dan tata cara pelaporan atas pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh
bendahara pemerintah dan badan tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
| |
(4)
|
Wajib Pajak
dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan
dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain
kepada Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
| |
(5)
|
Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disertai dengan penghitungan sementara
pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai
bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
| |
(5a)
|
Apabila Surat
Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat diterbitkan Surat
Teguran.
| |
(6)
|
Bentuk dan
isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan/atau dokumen yang harus
dilampirkan, dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
| |
(7)
|
Surat
Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila:
| |
|
a.
|
Surat
Pemberitahuan tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat
(1);
|
|
b.
|
Surat
Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (6);
|
|
c.
|
Surat
Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun
sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib
Pajak telah ditegur secara tertulis; atau
|
|
d.
|
Surat
Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan
atau menerbitkan surat ketetapan pajak.
|
(7a)
|
Apabila Surat
Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7),
Direktur Jenderal Pajak wajib memberitahukan kepada Wajib
Pajak.
| |
(8)
|
Dikecualikan
dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak
Penghasilan tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
3
Ayat
(1)
Fungsi
Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a.
|
pembayaran
atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan
atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun
Pajak;
|
b.
|
penghasilan yang merupakan objek
pajak dan/atau bukan objek pajak;
|
c.
|
harta dan kewajiban; dan/atau
|
d.
|
pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau
pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
|
Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai
sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang
dan untuk melaporkan tentang:
a.
|
pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
dan
|
b.
|
pembayaran
atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak
dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
perpajakan.
|
Bagi
pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut
dan disetorkannya.
Yang
dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat
Pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan
benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam
mengisi Surat Pemberitahuan adalah:
a.
|
benar
adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya;
|
b.
|
lengkap
adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan
unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan;
dan
|
c.
|
jelas
adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain
yang harus dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan.
|
Surat
Pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas tersebut wajib
disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar
atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Kewajiban
penyampaian Surat Pemberitahuan oleh pemotong atau pemungut pajak dilakukan
untuk setiap Masa Pajak.
Ayat
(1a)
Cukup
jelas.
Ayat
(1b)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Dalam
rangka memberikan pelayanan dan kemudahan kepada Wajib Pajak, formulir Surat
Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor Direktorat Jenderal Pajak dan
tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang
diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak. Di samping itu, Wajib Pajak juga
dapat mengambil Surat Pemberitahuan dengan cara lain, misalnya dengan mengakses
situs Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh formulir Surat Pemberitahuan
tersebut.
Namun,
untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, Direktur Jenderal Pajak dapat
mengirimkan Surat Pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
Ayat (3)
Ayat ini
mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan yang dianggap cukup
memadai bagi Wajib Pajak untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan
dengan pembayaran pajak dan penyelesaian pembukuannya.
Ayat
(3a)
Wajib
Pajak dengan kriteria tertentu, antara lain Wajib Pajak usaha kecil,
dapat:
a.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan
syarat pembayaran seluruh pajak yang wajib dilunasi menurut Surat Pemberitahuan
Masa tersebut dilakukan sekaligus paling lama dalam Masa Pajak yang terakhir;
dan/atau
|
b.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa selain yang disebut pada huruf a untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan
syarat pembayaran untuk masing-masing Masa Pajak dilakukan sesuai batas waktu
untuk Masa Pajak yang bersangkutan.
|
Ayat
(3b)
Cukup
jelas.
Ayat
(3c)
Cukup jelas.
Ayat
(4)
Apabila
Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan ternyata tidak dapat menyampaikan
Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan pada ayat (3) huruf
b, atau huruf c karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis
penyusunan laporan keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit untuk memenuhi
batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah
ditentukan, Wajib Pajak dapat memperpanjang penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
atau dengan cara lain misalnya dengan Pemberitahuan secara elektronik kepada
Direktur Jenderal Pajak.
Ayat
(5)
Untuk
mencegah usaha penghindaran dan/atau perpanjangan waktu pembayaran pajak yang
terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang harus dibayar sebelum batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan persyaratan yang
berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi Wajib Pajak yang ingin
memperpanjang waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
Persyaratan tersebut berupa
keharusan menyampaikan pemberitahuan sementara dengan menyebutkan besarnya pajak
yang harus dibayar berdasarkan penghitungan sementara pajak yang terutang dalam
1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan, sebagai
lampiran pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat
(5a)
Dalam
rangka pembinaan terhadap Wajib Pajak yang sampai dengan batas waktu yang telah
ditentukan ternyata tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, terhadap Wajib Pajak
yang bersangkutan dapat diberikan Surat Teguran.
Ayat
(6)
Mengingat
fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib Pajak, antara lain untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak dan
pembayarannya, dalam rangka keseragaman dan mempermudah pengisian serta
pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan, keterangan, dokumen
yang harus dilampirkan dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat
Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya memuat jumlah
peredaran, jumlah penghasilan, jumlah Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajak yang
terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan atau kelebihan pajak, serta
harta dan kewajiban di luar kegiatan usaha atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak
orang pribadi.
Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan
pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan
laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak.
Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang-kurangnya memuat jumlah
Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
Ayat
(7)
Surat
Pemberitahuan yang ditandatangani beserta lampirannya adalah satu kesatuan yang
merupakan unsur keabsahan Surat Pemberitahuan. Oleh karena itu, Surat
Pemberitahuan dari Wajib Pajak yang disampaikan, tetapi tidak dilengkapi dengan
lampiran yang dipersyaratkan, tidak dianggap sebagai Surat Pemberitahuan dalam
administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal demikian, Surat Pemberitahuan
tersebut dianggap sebagai data perpajakan.
Demikian
juga apabila penyampaian Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar telah
melewati 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau
Tahun Pajak dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, atau apabila Surat
Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan
atau menerbitkan surat ketetapan pajak, Surat Pemberitahuan tersebut dianggap
sebagai data perpajakan.
Ayat
(7a)
Cukup
jelas.
Ayat
(8)
Pada
prinsipnya setiap Wajib Pajak Pajak Penghasilan diwajibkan menyampaikan Surat
Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi atau pertimbangan lainnya, Menteri
Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari
kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang pribadi
yang menerima atau memperoleh penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak,
tetapi karena kepentingan tertentu diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak.
Pasal 4 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Wajib
Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap,
jelas, dan menandatanganinya.
|
(2)
|
Surat
Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi.
|
(3)
|
Dalam hal
Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan
menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus tersebut harus
dilampirkan pada Surat Pemberitahuan.
|
(4)
|
Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan
pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba
rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan
Kena Pajak.
|
(4a)
|
Laporan
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah laporan keuangan dari
masing-masing Wajib Pajak.
|
(4b)
|
Dalam hal
laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) diaudit oleh Akuntan Publik
tetapi tidak dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan dianggap
tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak
disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7) huruf b.
|
(5)
|
Tata
cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (4a)
Yang dimaksud dengan Laporan Keuangan masing-masing Wajib Pajak adalah
laporan keuangan hasil kegiatan usaha masing-masing Wajib Pajak.
Contoh:
PT
A memiliki saham pada PT B dan PT C. Dalam contoh tersebut, PT A mempunyai
kewajiban melampirkan laporan keuangan konsolidasi PT A dan anak perusahaan,
juga melampirkan laporan keuangan atas usaha PT A (sebelum dikonsolidasi),
sedangkan PT B dan PT C wajib melampirkan laporan keuangan masing-masing, bukan
laporan keuangan konsolidasi.
Ayat (4b)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan memuat hal-hal
mengenai, antara lain, penelitian kelengkapan, pemberian tanda terima,
pengelompokan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar, Kurang Bayar, dan Nihil, prosedur
perekaman dan tindak lanjut pengelolaannya, yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 5 (UU No. 6 Tahun
1983)
Untuk
menyampaikan Surat Pemberitahuan, Direktur Jenderal Pajak dalam hal-hal tertentu
dapat menentukan tempat lain bukan tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1).
Penjelasan Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
(UU No. 28
Tahun 2007)
(1)
|
Surat
Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat
Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk dan
kepada Wajib Pajak diberikan bukti penerimaan.
|
(2)
|
Penyampaian
Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman
surat atau dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
|
(3)
|
Tanda bukti
dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan
sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap.
|
Penjelasan Pasal
6
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Dalam
rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan sejalan dengan perkembangan
teknologi informasi, perlu cara lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuannya, misalnya disampaikan secara
elektronik.
Ayat
(3)
Tanda
bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan melalui
pos atau dengan cara lain merupakan bukti penerimaan, apabila Surat
Pemberitahuan dimaksud telah lengkap, yaitu memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6).
Pasal 7 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Apabila Surat
Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa
denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
| |
(2)
|
Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dilakukan terhadap:
| |
|
a.
|
Wajib
Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
|
|
b.
|
Wajib
Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas;
|
|
c.
|
Wajib
Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal
lagi di Indonesia;
|
|
d.
|
Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di
Indonesia;
|
|
e.
|
Wajib
Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
|
|
f.
|
Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
|
|
g.
|
Wajib
Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan; atau
|
|
h.
|
Wajib
Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 7
Ayat (1)
Maksud pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur
pada ayat ini adalah untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban menyampaikan Surat
Pemberitahuan.
Ayat (2)
Bencana adalah bencana nasional atau bencana yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
Pasal 8 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Wajib Pajak
dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
| |
(1a)
|
Dalam hal
pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan
rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling
lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
| |
(2)
|
Dalam hal
Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan
utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar,
dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan
tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
| |
(2a)
|
Dalam hal
Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan
utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar,
dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
| |
(3)
|
Walaupun
telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan
mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak
akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri
mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan
kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi
administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah
pajak yang kurang dibayar.
| |
(4)
|
Walaupun
Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan
kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai
keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
| |
|
a.
|
pajak-pajak
yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih
kecil;
|
|
b.
|
rugi
berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih
besar;
|
|
c.
|
jumlah harta
menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
|
|
d.
|
jumlah modal
menjadi lebih besar atau lebih kecil
|
|
dan
proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.
| |
(5)
|
Pajak yang
kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran
pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang
kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri
dimaksud disampaikan.
| |
(6)
|
Wajib Pajak
dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal
Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun
Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi
fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan
syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan.
|
Penjelasan Pasal
8
Ayat
(1)
Terhadap
kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak,
Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan
syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Yang
dimaksud dengan "mulai melakukan tindakan pemeriksaan" adalah pada saat Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa,
pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib
Pajak.
Ayat
(1a)
Yang
dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah jangka waktu 5 (lima) tahun setelah
saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau
Tahun Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
Ayat (2)
Dengan
adanya pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan atas kemauan sendiri membawa
akibat penghitungan jumlah pajak yang terutang dan jumlah penghitungan
pembayaran pajak menjadi berubah dari jumlah semula.
Atas
kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan tersebut dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan.
Bunga yang
terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dihitung mulai dari
berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan
tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Yang
dimaksud dengan "1 (satu) bulan" adalah jumlah hari dalam bulan kalender yang
bersangkutan, misalnya mulai dari tanggal 22 Juni sampai dengan 21 Juli,
sedangkan yang dimaksud dengan "bagian dari bulan" adalah jumlah hari yang tidak
mencapai 1 (satu) bulan penuh, misalnya 22 Juni sampai dengan 5
Juli.
Ayat
(2a)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Wajib
Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 selama belum
dilakukan penyidikan, sekalipun telah dilakukan pemeriksaan dan Wajib Pajak
telah mengungkapkan kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlah pajak yang
sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150%
(seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar, terhadapnya
tidak akan dilakukan penyidikan.
Namun,
apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut
diberitahukan kepada Penuntut Umum, kesempatan untuk mengungkapkan
ketidakbenaran perbuatannya sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang
bersangkutan.
Ayat (4)
Walaupun
Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi belum menerbitkan
surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum
membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat
berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun
atau masa yang diperiksa. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat
Pemberitahuan tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan
keadaan yang sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah pajak yang sesungguhnya
terutang. Namun, untuk membuktikan kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut, proses
pemeriksaan tetap dilanjutkan sampai selesai.
Ayat
(5)
Atas
kekurangan pajak sebagai akibat adanya pengungkapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh
persen) dari pajak yang kurang dibayar, dan harus dilunasi oleh Wajib Pajak
sebelum laporan pengungkapan tersendiri disampaikan. Namun, pemeriksaan tetap
dilanjutkan. Apabila dari hasil pemeriksaan terbukti bahwa laporan pengungkapan
ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, atas ketidakbenaran
pengungkapan tersebut dapat diterbitkan surat ketetapan pajak.
Ayat (6)
Sehubungan
dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas
suatu Tahun Pajak yang mengakibatkan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal
yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tahun berikutnya
atau tahun-tahun berikutnya, akan dilakukan penyesuaian rugi fiskal sesuai
dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penghitungan
Pajak Penghasilan tahun-tahun berikutnya, pembatasan jangka waktu 3 (tiga) bulan
tersebut dimaksudkan untuk tertib administrasi tanpa menghilangkan hak Wajib
Pajak atas kompensasi kerugian. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat
Pemberitahuan lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan atau Wajib Pajak tidak
mengajukan pembetulan sebagai akibat adanya surat ketetapan pajak, Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya,
yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah
dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, Direktur
Jenderal Pajak akan memperhitungkannya dalam menetapkan kewajiban perpajakan
Wajib Pajak.
Untuk
Jelasnya diberikan contoh sebagai berikut:
Contoh
1:
PT A
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang
menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar
|
Rp200.000.000,00
|
Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 sebesar
|
Rp150.000.000,00 (-)
|
Penghasilan Kena Pajak
sebesar
|
Rp
50.000.000,00
|
Terhadap
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 dilakukan pemeriksaan,
dan pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat ketetapan pajak yang
menyatakan rugi fiskal sebesar Rp70.000.000,00.
Berdasarkan surat ketetapan pajak
tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena
Pajak tahun 2008 menjadi sebagai berikut:
Penghasilan
Neto
|
Rp200.000.000,00
|
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2007
|
Rp
70.000.000,00 (-)
|
Penghasilan Kena
Pajak
|
Rp130.000.000,00
|
Dengan
demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula
Rp50.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp150.000.000,00) setelah pembetulan menjadi
Rp130.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp70.000.000,00)
Contoh 2:
PT
B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang
menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar
|
Rp300.000.000,00
|
Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 sebesar
|
Rp200.000.000,00 (-)
|
Penghasilan Kena Pajak
sebesar
|
Rp100.000.000,00
|
Terhadap
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 dilakukan pemeriksaan
dan pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat ketetapan pajak yang
menyatakan rugi fiskal sebesar Rp250.000.000,00.
Berdasarkan surat ketetapan pajak
tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena
Pajak tahun 2008 menjadi sebagai berikut:
Penghasilan
Neto
|
Rp300.000.000,00
|
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2007
|
Rp250.000.000,00 (-)
|
Penghasilan Kena
Pajak
|
Rp
50.000.000,00
|
Dengan
demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula
Rp100.000.000,00 (Rp300.000.000,00 - Rp200.000.000,00) setelah pembetulan
menjadi Rp50.000.000,00 (Rp300.000.000,00 - Rp250.000.000,00).
Pasal 9 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Menteri
Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang
terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling
lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak.
|
(2)
|
Kekurangan
pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan
disampaikan.
|
(2a)
|
Pembayaran
atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah
tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari
tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
(2b)
|
Atas
pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan,
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang
dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan.
|
(3)
|
Surat Tagihan
Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan,
Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterbitkan.
|
(3a)
|
Bagi Wajib
Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama menjadi 2
(dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
(4)
|
Direktur
Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang
pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
9
Ayat
(1)
Batas
waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa
Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melampaui 15
(lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenai
sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(2a)
Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas keterlambatan pembayaran atau
penyetoran pajak. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga tersebut diberikan
contoh sebagai berikut:
Angsuran masa Pajak Penghasilan Pasal 25 PT A tahun 2008 sejumlah
Rp10.000.000,00 per bulan. Angsuran masa Mei tahun 2008 dibayar tanggal 18 Juni
2008 dan dilaporkan tanggal 19 Juni 2008. Apabila pada tanggal 15 Juli 2008
diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi bunga dalam Surat Tagihan Pajak dihitung
1 (satu) bulan sebagai berikut :
1
x 2% x Rp10.000.000,00 = Rp200.000,00.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat
(3a)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Atas
permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan persetujuan
untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang termasuk kekurangan
pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan meskipun tanggal Jatuh tempo pembayaran telah
ditentukan.
Kelonggaran tersebut diberikan
dengan hati-hati untuk paling lama 12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada
Wajib Pajak yang benar-benar sedang mengalami kesulitan
likuiditas.
Pasal 10 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Wajib Pajak
wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(1a)
|
Surat Setoran
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bukti pembayaran
pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran yang
berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Tata cara
pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan
menunda pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
10
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(1a)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Adanya
tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak, dan pelaporannya, serta tata cara
mengangsur dan menunda pembayaran pajak yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan diharapkan dapat mempermudah pelaksanaan pembayaran
pajak dan administrasinya.
Pasal 11 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Atas
permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D dikembalikan, dengan ketentuan
bahwa apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung
diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
|
(1a)
|
Kelebihan
pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan
Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding atau
Putusan Peninjauan Kembali, serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga
dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak
mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu
utang pajak tersebut.
|
(2)
|
Pengembalian
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a)
dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), atau sejak
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C
atau Pasal 17D, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan
Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pemberian
Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan
Kembali, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
|
(3)
|
Apabila
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu)
bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir sampai dengan saat dilakukan
pengembalian kelebihan.
|
(4)
|
Tata
cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 11
Ayat (1)
Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang
dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak
lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang) atau telah dilakukan pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali
kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai
utang pajak.
Dalam hal Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua
jenis pajak baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut
harus diperhitungkan lebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan jika masih
terdapat sisa lebih, dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Ayat
(1a)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Untuk
menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi, batas
waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama 1 (satu)
bulan :
a.
|
untuk
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1),
dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian
kelebihan pembayaran pajak;
|
b.
|
untuk
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
dan Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan;
|
c.
|
untuk
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17C dan Pasal 17D, dihitung sejak tanggal
penerbitan;
|
d.
|
untuk
Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga,
dihitung sejak tanggal penerbitan;
|
e.
|
untuk
Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan Banding oleh Kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan;
atau
|
f.
|
untuk
Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak diterimanya Putusan Peninjauan Kembali
oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan
pengadilan
|
sampai
dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Pajak.
Ayat
(3)
Untuk
menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak melalui pelayanan
yang lebih baik, diatur bahwa setiap keterlambatan dalam pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada
Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan sampai dengan
saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas.
BAB
III
PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK
PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK
Pasal 12 (UU No. 28
Tahun 2007)
(1)
|
Setiap Wajib
Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat
ketetapan pajak.
|
(2)
|
Jumlah Pajak
yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak
adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
|
(3)
|
Apabila
Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut
Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur
Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.
|
Penjelasan Pasal
12
Ayat
(1)
Pajak pada
prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak,
tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut
adalah:
a.
|
pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak
ketiga;
|
b.
|
pada akhir
masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang
dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak
atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah; atau
|
c.
|
pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak
Penghasilan.
|
Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang
harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus
disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1).
Berdasarkan Undang-Undang ini, Direktorat Jenderal Pajak tidak
berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat
Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan
pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh
ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data
fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ayat
(2)
Ketentuan
ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar
besarnya pajak yang terutang secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak
perlu diberikan surat ketetapan pajak atau pun Surat Tagihan Pajak.
Ayat
(3)
Apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya
pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak
menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pasal 13 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
| |
|
a.
|
apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak
atau kurang dibayar;
|
|
b.
|
apabila Surat
Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada
waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
|
|
c.
|
apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya
dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol
persen);
|
|
d.
|
apabila
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi
sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang;
atau
|
|
e.
|
apabila
kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (4a).
|
(2)
|
Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
| |
(3)
|
Jumlah pajak
dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar:
| |
|
a.
|
50%
(lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam
satu Tahun Pajak;
|
|
b.
|
100%
(seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak
atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut
tetapi tidak atau kurang disetor; atau
|
|
c.
|
100%
(seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
|
(4)
|
Besarnya
pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat
Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.
| |
(5)
|
Walaupun
jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah
pajak yang tidak atau kurang dibayar, apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu
tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau
tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
| |
(6)
|
Tata cara
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
13
Ayat
(1)
Ketentuan
ayat ini memberi wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, yang pada hakikatnya hanya terhadap
kasus-kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat ini. Dengan demikian,
hanya terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material. Keterangan
lain tersebut adalah data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur
Jenderal Pajak, antara lain berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti
pemotongan Pajak Penghasilan. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan
koreksi fiskal tersebut dibatasi sampai dengan kurun waktu 5 (lima)
tahun.
Menurut
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar baru diterbitkan jika Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana
mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Diketahuinya Wajib Pajak tidak atau
kurang membayar pajak karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang
bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak
atau kurang membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang.
Pemeriksaan dapat dilakukan di
tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur
Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak
sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi
kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran
data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan.
Surat Pemberitahuan yang tidak disampaikan pada waktunya walaupun telah
ditegur secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang
ditentukan dalam Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
membawa akibat Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar secara jabatan. Terhadap ketetapan seperti ini dikenai sanksi
administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Teguran, antara lain, dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Wajib
Pajak yang beriktikad baik untuk menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak
dapat disampaikannya Surat Pemberitahuan karena sesuatu hal di luar kemampuannya
(force majeur).
Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan di bidang
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yang
mengakibatkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan kenaikan sebesar 100% (seratus
persen).
Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak dapat
menghitung jumlah pajak yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d, Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar dengan penghitungan secara jabatan, yaitu penghitungan pajak didasarkan
pada data yang tidak hanya diperoleh dari Wajib Pajak saja.
Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan
secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak dibebankan kepada Wajib Pajak.
Sebagai contoh:
1.
|
pembukuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak lengkap sehingga penghitungan laba
rugi atau peredaran tidak jelas;
|
2.
|
dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam
pembukuan tidak dapat diuji; atau
|
3.
|
dari
rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang diketahui besar dugaan
disembunyikannya dokumen atau data pendukung lain di suatu tempat tertentu
sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan iktikad
baiknya untuk membantu kelancaran jalannya
pemeriksaan.
|
Beban
pembuktian tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang diterbitkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b.
Ayat
(2)
Ayat ini
mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan kepada Wajib Pajak karena
melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf e. Sanksi administrasi perpajakan tersebut berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan yang dicantumkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Sanksi
administrasi berupa bunga, dihitung dari jumlah pajak yang tidak atau kurang
dibayar dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
Walaupun
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut diterbitkan lebih dari 2 (dua) tahun
sejak berakhirnya Tahun Pajak, bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya
untuk masa 2 (dua) tahun.
Contoh:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan.
Wajib
Pajak PT A mempunyai penghasilan kena pajak selama Tahun Pajak 2006 sebesar
Rp100.000.000,00 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan tepat waktu.
Pada bulan
April 2009 berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar maka sanksi bunga dihitung sebagai berikut:
1.
|
Penghasilan Kena Pajak
Rp100.000.000,00
|
|
2.
|
Pajak yang terutang (30% x Rp100.000.000,00)
|
Rp
30.000.000,00
|
3.
|
Kredit
pajak
|
Rp
10.000.000.00 (-)
|
4.
|
Pajak yang
kurang dibayar
|
Rp
20.000.000,00
|
5.
|
Bunga 24 bulan (24 x 2% x Rp20.000.000,00)
|
Rp
9.600.000,00 (+)
|
6.
|
Jumlah
pajak yang masih harus dibayar
|
Rp
29.600.000,00
|
Dalam hal
pengusaha tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak, selain harus menyetor pajak yang terutang, pengusaha tersebut juga
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari
pajak yang kurang dibayar yang dihitung sejak berakhirnya Masa Pajak untuk
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Ayat
(3)
Ayat ini
mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan pajak karena melanggar
kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan
huruf d. Sanksi administrasi berupa kenaikan merupakan suatu jumlah proporsional
yang harus ditambahkan pada pokok pajak yang kurang dibayar.
Besarnya
sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda menurut jenis pajaknya, yaitu
untuk jenis Pajak Penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan
yang dipotong oleh orang atau badan lain sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
100% (seratus persen).
Ayat
(4)
Untuk
memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak berkenaan dengan pelaksanaan
pemungutan pajak dengan sistem self assessment, apabila dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejak saat terutangnya pajak,
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak,
Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat ketetapan pajak, jumlah
pembayaran pajak yang diberitahukan dalam Surat Pemberitahuan Masa atau Surat
Pemberitahuan Tahunan pada hakikatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya atau
telah menjadi pasti karena hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Ayat
(5)
Apabila
terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan,
untuk menentukan kerugian pada pendapatan negara, atas jumlah pajak yang
terutang belum dikeluarkan surat ketetapan pajak.
Untuk
mengetahui bahwa Wajib Pajak memang benar-benar melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan, harus dibuktikan melalui proses pengadilan yang dapat
membutuhkan waktu lebih dari 5 (lima) tahun. Kemungkinan dapat terjadi bahwa
Wajib Pajak yang disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, tetapi oleh
penuntut umum tidak dituntut berdasarkan sanksi pidana perpajakan, misalnya
Wajib Pajak yang dijatuhi pidana oleh pengadilan karena melakukan penyelundupan
yang dalam putusan pengadilan tersebut menunjukkan adanya suatu jumlah objek
pajak yang belum dikenai pajak.
Oleh
karena itu, dalam rangka memperoleh kembali pajak yang terutang tersebut, dalam
hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar masih dibenarkan untuk diterbitkan, ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Pasal 13A (UU No. 28 Tahun
2007)
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Penjelasan Pasal 13A
Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak. Namun, bagi Wajib Pajak yang melanggar pertama kali
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dikenai sanksi pidana,
tetapi dikenai sanksi administrasi.
Oleh karena itu, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan
Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak
benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara tidak dikenai sanksi
pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak. Dalam hal
ini, Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang
terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus
persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Pasal 14 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
| ||
|
a.
|
Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
| |
|
b.
|
dari
hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis
dan/atau salah hitung;
| |
|
c.
|
Wajib
Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau
bunga;
| |
|
d.
|
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi
tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat
waktu;
| |
|
e.
|
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak
mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya,
selain:
| |
|
|
1.
|
identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya;
atau
|
|
|
2.
|
identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984
dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak
pedagang eceran;
|
|
f.
|
Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa
penerbitan faktur pajak; atau
| |
|
g.
|
Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan
pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a)
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya.
| |
(2)
|
Surat Tagihan
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama
dengan surat ketetapan pajak.
| ||
(3)
|
Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
| ||
(4)
|
Terhadap
pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang,
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar
Pengenaan Pajak.
| ||
(5)
|
Terhadap
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak
yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal penerbitan Surat
Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.
| ||
(6)
|
Tata
cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini disamakan kekuatan hukumnya dengan
surat ketetapan pajak sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan
dengan Surat Paksa.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas Surat
Tagihan Pajak yang diterbitkan karena:
a.
|
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
atau
|
b.
|
penelitian Surat Pemberitahuan yang menghasilkan pajak kurang dibayar
karena terdapat salah tulis dan/atau salah
hitung.
|
Untuk jelasnya diberikan contoh cara penghitungan sebagai
berikut:
1.
|
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.
Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2008 setiap bulan sebesar
Rp100.000.000,00 jatuh tempo misalnya tiap tanggal 15. Pajak Penghasilan Pasal
25 bulan Juni 2008 dibayar tepat waktu sebesar Rp40.000.000,00.
Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut diterbitkan Surat
Tagihan Pajak pada tanggal 18 September 2008 dengan penghitungan sebagai berikut
:
| |||||||||
2.
|
Hasil penelitian Surat Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi
tahun 2008 yang disampaikan pada tanggal 31 Maret 2009 setelah dilakukan
penelitian ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan Pajak Penghasilan
kurang bayar sebesar Rp1.000.000,00. Atas kekurangan Pajak Penghasilan tersebut
diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 12 Juni 2009 dengan penghitungan
sebagai berikut:
|
Ayat
(4)
Pengusaha
Kena Pajak yang tidak membuat faktur pajak maupun Pengusaha Kena Pajak yang
membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak selengkapnya mengisi
faktur pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen)
dari Dasar Pengenaan Pajak.
Demikian
pula bagi Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur pajak, tetapi melaporkannya
tidak tepat waktu, dikenai sanksi yang sama.
Sanksi
administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak
ditagih dengan Surat Tagihan Pajak, sedangkan pajak yang terutang ditagih dengan
surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Pasal 15 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan
data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan.
|
(2)
|
Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
|
(3)
|
Kenaikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib
Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai
melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan.
|
(4)
|
Apabila
jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah
jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
|
(5)
|
Tata cara
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
15
Ayat
(1)
Untuk
menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang
ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu
Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan
pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam Jangka waktu 5
(lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian
Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas surat
ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru
diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada
prinsipnya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu
dilakukan pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan
berdasarkan pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal surat ketetapan pajak
sebelumnya diterbitkan berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan juga
harus diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan pemeriksaan ulang.
Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan
mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak.
Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat
adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan
penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan
dengan itu, setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat
telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal
ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih
ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru
termasuk data yang semula belum terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur
Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat
diterbitkan lagi.
Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keterangan mengenai
segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang
terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula,
baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan
perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Selain
itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap,
yaitu data yang:
a.
|
tidak
diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya
(termasuk laporan keuangan); dan/atau
|
b.
|
pada waktu
pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau
memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak
memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang
terutang.
|
Walaupun
Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau
mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau
mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak
mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga
jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut
termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh:
1.
|
Dalam
Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan
Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas
Rp5.000.000.00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000.00 sisanya adalah
sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Apabila
pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut
sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau
hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data
mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang
semula belum terungkap.
|
2.
|
Dalam
Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta
tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok
yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib
Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat
meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya
termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi
dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta
tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak dapat
dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang menyatakan
bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk data
yang semula belum terungkap.
|
3.
|
Pengusaha
Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain
dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan faktur
pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan
produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak
mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai
Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.
Apabila
pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian
penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas
pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila
setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan
mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang
semula belum terungkap.
|
Ayat
(2)
Dalam hal
setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data baru
termasuk data yang semula belum terungkap yang belum diperhitungkan sebagai
dasar penetapan tersebut, atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang
dibayar.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Dalam hal
Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana yang dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara berupa pajak berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan tetap dapat diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau
kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilampaui.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal 16 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Atas
permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat
membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan
Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis,
kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
(2)
|
Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat
permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan
pembetulan yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
(3)
|
Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah lewat, tetapi Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan yang
diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
|
(4)
|
Apabila
diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan
secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau
mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
Penjelasan Pasal
16
Ayat
(1)
Pembetulan
menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang
baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi
perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut
tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak.
Apabila
ditemukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh fiskus maupun berdasarkan
permohonan Wajib Pajak, kesalahan atau kekeliruan tersebut harus dibetulkan.
Yang
dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan adalah sebagai
berikut:
a.
|
surat
ketetapan pajak, yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
|
b.
|
Surat
Tagihan Pajak;
|
c.
|
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak;
|
d.
|
Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
|
e.
|
Surat
Keputusan Pembetulan;
|
f.
|
Surat
Keputusan Keberatan;
|
g.
|
Surat
Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
|
h.
|
Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi;
|
i.
|
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
atau
|
j.
|
Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan
Pajak.
|
Ruang Lingkup pembetulan yang diatur pada ayat ini terbatas pada
kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:
a.
|
kesalahan
tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib
Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak,
dan tanggal jatuh tempo;
|
b.
|
kesalahan
hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan
dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan;
atau
|
c.
|
kekeliruan
dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan
persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi
administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan
pajak.
|
Pengertian "membetulkan" pada ayat ini, antara lain, menambahkan,
mengurangkan, atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan
kekeliruannya.
Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau
kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada
Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan
lagi karena jabatan.
Ayat (2)
Untuk memberikan kepastian hukum, permohonan pembetulan yang diajukan
oleh Wajib Pajak harus diputuskan dalam batas waktu paling lama 6 (enam) bulan
sejak permohonan diterima.
Ayat
(3)
Dalam hal
batas waktu 6 (enam) bulan terlampaui, tetapi Direktur Jenderal Pajak belum
memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.
Dengan
dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai dengan permohonan Wajib
Pajak.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal 17 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih
besar daripada jumlah pajak yang terutang.
|
(2)
|
Berdasarkan
permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran
pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(3)
|
Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan
hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya
lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan.
|
Penjelasan Pasal 17
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan
untuk:
a.
|
Pajak
Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang;
|
b.
|
Pajak
Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak
yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran
dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
tersebut; atau
|
c.
|
Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang.
|
Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan
atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang
bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Apabila
Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan menghendaki
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib mengajukan permohonan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup jelas.
Pasal 17A (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan
jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak
atau tidak ada pembayaran pajak.
|
(2)
|
Tata
cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 17A
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan
untuk:
a.
|
Pajak
Penghasilan apabila jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau
pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
|
b.
|
Pajak
Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang
terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat
pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang
terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang
dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut;
atau
|
c.
|
Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah
pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran
pajak.
|
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal 17B (UU No. 28
Tahun 2007)
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak
paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
|
(1a)
|
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak yang
sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Apabila
setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus
diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
|
(3)
|
Apabila Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
|
(4)
|
Apabila
pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1a) tidak dilanjutkan dengan penyidikan; dilanjutkan dengan
penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang
perpajakan; atau dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana di
bidang perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan
dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar,
kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka
waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan saat
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.
|
Penjelasan
Pasal
17B
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan "surat permohonan telah diterima secara lengkap" adalah Surat
Pemberitahuan yang telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3.
Surat
ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar.
Ayat
(1a)
Yang
dimaksud dengan "sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan" adalah dimulai
sejak surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan disampaikan kepada Wajib
Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib
Pajak.
Ayat
(2)
Batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian
hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila
batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan
suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu, batas
waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi
perpajakan.
Ayat
(3)
Jika
Direktur Jenderal Pajak terlambat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar,
kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan,
dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sampai dengan saat Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan, dan bagian
dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal 17C (UU No. 28
Tahun 2007)
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu,
menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama
3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan,
dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk
Pajak Pertambahan Nilai.
| |
(2)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
| |
|
a.
|
tepat
waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
|
|
b.
|
tidak
mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang
telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak;
|
|
c.
|
Laporan
Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah
dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut;
dan
|
|
d.
|
tidak pernah
dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun terakhir.
|
(3)
|
Wajib
Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
| |
(4)
|
Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah melakukan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
| |
(5)
|
Apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan
pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
| |
(6)
|
Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila:
| |
|
a.
|
terhadap
Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan;
|
|
b.
|
terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak
tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut;
|
|
c.
|
terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak
tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender;
atau
|
|
d.
|
terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
|
(7)
|
Tata
cara penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
17C
Ayat (1)
Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk Wajib
Pajak dengan kriteria tertentu setelah dilakukan penelitian harus diterbitkan
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling
lama:
a.
|
3 (tiga) bulan untuk Pajak
Penghasilan;
|
b.
|
1 (satu) bulan untuk Pajak
Pertambahan Nilai
|
sejak permohonan diterima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat
Pemberitahuan telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1),
ayat (1a), dan ayat (6). Permohonan dapat
disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam Surat Pemberitahuan atau dengan
surat tersendiri. Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dapat
diberikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan konfirmasi kebenaran kredit
pajak.
Ayat
(2)
Termasuk
dalam pengertian kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan
adalah:
a.
|
tepat
waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3 (tiga) tahun
terakhir;
|
b.
|
dalam
Tahun Pajak terakhir, penyampaian Surat Pemberitahuan Masa untuk Masa Pajak
Januari sampai dengan November yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) Masa
Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut;
dan
|
c.
|
Surat
Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah
disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa
Masa Pajak berikutnya.
|
Bahwa
Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak adalah keadaan pada tanggal 31
Desember. Utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan tidak termasuk
dalam pengertian tunggakan pajak.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 5
(lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah
memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat
ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau
Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar.
Ayat
(5)
Untuk
mendorong Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka apabila
dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran
pajak.
Untuk
jelasnya cara penghitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan pengenaan
sanksi administrasi berupa kenaikan tersebut diberikan contoh sebagai
berikut:
1)
|
Pajak
Penghasilan
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
-
|
Wajib
Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar
Rp80.000.000,00.
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
-
|
Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Berdasarkan hasil pemeriksaan
tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan
sebagai berikut:
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2)
|
Pajak
Pertambahan Nilai
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
-
|
Pengusaha
Kena Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar
Rp60.000.000,00
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
-
|
Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Berdasarkan hasil pemeriksaan
tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan
sebagai berikut:
|
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Ayat
(7)
Cukup
jelas.
Pasal 17D (UU No. 28
Tahun 2007)
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu,
menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama
3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan,
dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk
Pajak Pertambahan Nilai.
| |
(2)
|
Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak adalah:
| |
|
a.
|
Wajib
Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas;
|
|
b.
|
Wajib
Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah
peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah
tertentu;
|
|
c.
|
Wajib
Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan
jumlah tertentu; atau
|
|
d.
|
Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan
jumlah tertentu.
|
(3)
|
Batasan
jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
| |
(4)
|
Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
| |
(5)
|
Jika
berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang
kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
(seratus persen).
|
Penjelasan Pasal
17D
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Untuk
mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah
memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Ayat
(5)
Untuk
memotivasi Wajib Pajak agar melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, apabila dari hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
kekurangan pembayaran pajak.
Pasal 17E (UU No. 28
Tahun 2007)
Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal
17E
Cukup
jelas.
BAB
IV
PENAGIHAN PAJAK
PENAGIHAN PAJAK
Pasal 18 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Surat Tagihan
Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak
yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
|
(2)
|
Dihapus.
|
Penjelasan Pasal
18
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Dihapus.
Pasal 19 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Apabila Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding
atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar,
atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung
dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal
diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan.
|
(2)
|
Dalam hal
Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah
pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.
|
(3)
|
Dalam hal
Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan
ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas
kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan
huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
Penjelasan Pasal
19
Ayat
(1)
Ayat ini
mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga berdasarkan jumlah pajak
yang masih harus dibayar yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo
pelunasan atau terlambat dibayar.
Contoh:
a.
|
Jumlah
pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebesar Rp10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan batas
akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah pembayaran sampai dengan tanggal
6 November 2008 Rp6.000.000,00. Pada tanggal 1 Desember 2008 diterbitkan Surat
Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai berikut:
| ||||||||
b.
|
Dalam hal
terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut pada huruf a,
Wajib Pajak membayar Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan pada
tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi
berupa bunga dihitung sebagai berikut:
|
Ayat
(2)
Ayat ini
mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga dalam hal Wajib Pajak
diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
Contoh:
a.
|
Wajib
Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp1.120.000,00 yang
diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009 dengan batas akhir pelunasan tanggal 1
Februari 2009. Wajib Pajak tersebut diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran
pajak dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar
Rp224.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai
berikut:
| ||||||||||||||||||||
b.
|
Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperbolehkan untuk menunda pembayaran
pajak sampai dengan tanggal 30 Juni 2009.
Sanksi
administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar tersebut sebesar 5 x 2% x Rp1.120.000,00 =
Rp112.000,00.
|
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal 20 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Atas jumlah
pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,
serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) dilaksanakan
penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
| |
(2)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penagihan seketika dan sekaligus dilakukan apabila:
| |
|
a.
|
Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau
berniat untuk itu;
|
|
b.
|
Penanggung
Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka
menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang
dilakukannya di Indonesia;
|
|
c.
|
terdapat
tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau
menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang
dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk
lainnya;
|
|
d.
|
badan
usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
|
|
e.
|
terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau
terdapat tanda-tanda kepailitan.
|
(3)
|
Penagihan
pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
|
Penjelasan Pasal
20
Ayat
(1)
Apabila
jumlah utang pajak tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo
pembayaran atau sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran, atau
Wajib Pajak tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihannya dilaksanakan
dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Penagihan pajak dengan Surat Paksa tersebut dilaksanakan terhadap
Penanggung Pajak.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan "penagihan seketika dan sekaligus" adalah tindakan penagihan
pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa
menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari
semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal 21 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang
milik Penanggung Pajak.
| |
(2)
|
Ketentuan
tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pokok pajak,
sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
| |
(3)
|
Hak mendahulu
untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
| |
|
a.
|
biaya
perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang
bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
|
|
b.
|
biaya
yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;
dan/atau
|
|
c.
|
biaya
perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu
warisan.
|
(3a)
|
Dalam hal
Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator,
atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang
membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada
pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk
membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
| |
(4)
|
Hak mendahulu
hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah.
| |
(5)
|
Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut:
| |
|
a.
|
dalam
hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5
(lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak pemberitahuan
Surat Paksa; atau
|
|
b.
|
dalam
hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran maka
jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan
diberikan.
|
Penjelasan Pasal 21
Ayat (1)
Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang
dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak
yang akan dilelang di muka umum.
Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak
dilunasi.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(3a)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal 22 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Hak untuk
melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan
pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak
penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
| |
(2)
|
Daluwarsa
penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
| |
|
a.
|
diterbitkan
Surat Paksa;
|
|
b.
|
ada pengakuan
utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak
langsung;
|
|
c.
|
diterbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5),
atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (4); atau
|
|
d.
|
dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan.
|
Penjelasan Pasal 22
Ayat (1)
Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi
kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih
lagi.
Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak Surat Tagihan
Pajak dan surat ketetapan pajak diterbitkan. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan
permohonan pembetulan, keberatan, banding atau Peninjauan Kembali, daluwarsa
penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan
Kembali.
Ayat (2)
Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui 5 (lima) tahun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila:
a.
|
Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan dan memberitahukan Surat Paksa kepada Penanggung
Pajak yang tidak melakukan pembayaran utang pajak sampai dengan tanggal jatuh
tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung
sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa tersebut.
|
b.
|
Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara mengajukan
permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh
tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung
sejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak
diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
c.
|
Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan terhadap Wajib Pajak karena Wajib Pajak
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana lain yang dapat
merugikan pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung
sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak
tersebut.
|
d.
|
Terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan Surat
Perintah Penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan.
|
Pasal 23 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Dihapus.
| |
(2)
|
Gugatan Wajib
Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
| |
|
a.
|
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau
Pengumuman Lelang;
|
|
b.
|
keputusan
pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
|
|
c.
|
keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain
yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
|
|
d.
|
penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang
dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan
|
|
hanya
dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
| |
(3)
|
Dihapus.
|
Penjelasan Pasal
23
Ayat
(1)
Dihapus.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Dihapus.
Pasal 24
(UU No. 28
Tahun 2007)
Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 24
Menteri Keuangan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan besarnya
jumlah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi, antara lain karena Wajib
Pajak telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan,
Wajib Pajak badan yang telah selesai proses pailitnya, atau Wajib Pajak yang
tidak memenuhi syarat lagi sebagai subjek pajak dan hak untuk melakukan
penagihan pajak telah daluwarsa. Melalui cara ini dapat diperkirakan secara
efektif besarnya saldo piutang pajak yang akan dapat ditagih atau
dicairkan.
BAB
V
KEBERATAN DAN BANDING
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 25
(UU No. 28
Tahun 2007)
(1)
|
Wajib
Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas
suatu:
| |
|
a.
|
Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
|
|
b.
|
Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
|
|
c.
|
Surat
Ketetapan Pajak Nihil;
|
|
d.
|
Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
|
|
e.
|
pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
(2)
|
Keberatan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak
yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi
menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar
penghitungan.
| |
(3)
|
Keberatan
harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat
ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa
jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
| |
(3a)
|
Dalam hal
Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib
melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah
disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat
keberatan disampaikan.
| |
(4)
|
Keberatan
yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak
dipertimbangkan.
| |
(5)
|
Tanda
penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak
yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat
keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti
penerimaan surat keberatan.
| |
(6)
|
Apabila
diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal
Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar
pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan
pajak.
| |
(7)
|
Dalam hal
Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum
dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan
sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
| |
(8)
|
Jumlah pajak
yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
| |
(9)
|
Dalam hal
keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah
pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.
| |
(10)
|
Dalam hal
Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda
sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak
dikenakan.
|
Penjelasan Pasal
25
Ayat
(1)
Apabila
Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau
pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, Wajib Pajak dapat mengajukan
keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.
Keberatan
yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak, yaitu jumlah
rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah
besarnya pajak, atau pemotongan atau pemungutan pajak. Yang dimaksud dengan
"suatu" pada ayat ini adalah 1 (satu) keberatan harus diajukan terhadap 1 (satu)
jenis pajak dan 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak.
Contoh:
Keberatan atas ketetapan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008 dan Tahun
Pajak 2009 harus diajukan masing-masing dalam 1 (satu) surat keberatan
tersendiri. Untuk 2 (dua) Tahun Pajak tersebut
harus diajukan 2 (dua) buah surat keberatan.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan "alasan yang menjadi dasar penghitungan" adalah alasan-alasan
yang jelas dan dilampiri dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti
pemungutan, atau bukti pemotongan.
Ayat
(3)
Batas
waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak
tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau
pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan maksud agar Wajib
Pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan
beserta alasannya.
Apabila
ternyata bahwa batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh
Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur),
tenggang waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk
diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat
(3a)
Ketentuan
ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah harus
melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah disetujui
Wajib Pajak pada saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Pelunasan tersebut
harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.
Ayat
(4)
Permohonan
keberatan yang tidak memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal
ini bukan merupakan surat keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan
tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.
Ayat (5)
Tanda
penerimaan surat yang telah diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak
atau oleh pos berfungsi sebagai tanda terima surat keberatan apabila surat
tersebut memenuhi syarat sebagai surat keberatan. Dengan demikian, batas waktu
penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud.
Apabila
surat Wajib Pajak tidak memenuhi syarat sebagai surat keberatan dan Wajib Pajak
memperbaikinya dalam batas waktu penyampaian surat keberatan, batas waktu
penyelesaian keberatan dihitung sejak diterima surat berikutnya yang memenuhi
syarat sebagai surat keberatan.
Ayat
(6)
Agar Wajib
Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang kuat, Wajib Pajak diberi hak
untuk meminta dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau
pemungutan pajak yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak
berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut.
Ayat
(7)
Ayat ini
mengatur bahwa jatuh tempo pembayaran yang tertera dalam surat ketetapan pajak
tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan
Keberatan. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur
dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat
pengajuan keberatan.
Ayat
(8)
Cukup
jelas.
Ayat
(9)
Dalam hal
keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan Wajib Pajak tidak
mengajukan permohonan banding, jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan
dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus
dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan
Keberatan, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib
Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen).
Contoh:
Untuk
tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak
yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A.
Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak
yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi
sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan
keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian
keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi
sebesar Rp750.000.000,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi
administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai sanksi sesuai
dengan ayat ini, yaitu sebesar 50% x (Rp750.000.000,00 - Rp200.000.000,00) =
Rp275.000.000,00.
Ayat
(10)
Cukup
jelas.
Pasal 26 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
|
(2)
|
Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan
alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
|
(3)
|
Keputusan
Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau
sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
|
(4)
|
Dalam hal
Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang bersangkutan harus
dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
|
(5)
|
Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut
dianggap dikabulkan.
|
Penjelasan Pasal
26
Ayat
(1)
Terhadap
surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, kewenangan penyelesaian dalam
tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan
batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan
paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan
diterima.
Dengan
ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut,
berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain
terlaksananya administrasi perpajakan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Ayat ini
mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak dalam hal
Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan secara
jabatan. Surat ketetapan pajak secara jabatan tersebut diterbitkan karena Wajib
Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan meskipun telah ditegur
secara tertulis, tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan pembukuan, atau
menolak untuk memberikan kesempatan kepada pemeriksa memasuki tempat-tempat
tertentu yang dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna menetapkan besarnya
jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak tidak dapat membuktikan
ketidakbenaran surat ketetapan pajak secara jabatan, pengajuan keberatannya
ditolak.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal 26A (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Tata
cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Tata cara
pengajuan dan penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara
lain, mengatur tentang pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir memberikan
keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya.
|
(3)
|
Apabila Wajib
Pajak tidak menggunakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses keberatan
tetap dapat diselesaikan.
|
(4)
|
Wajib Pajak
yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain
dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data
dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak
ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak
dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.
|
Penjelasan Pasal
26A
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Agar dapat
memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Wajib Pajak untuk memperoleh
keadilan dalam penyelesaian keberatannya, dalam tata cara sebagaimana dimaksud
pada ayat ini diatur, antara lain, Wajib Pajak dapat hadir untuk memberikan
keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal 27 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Wajib Pajak
dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas
Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).
|
(2)
|
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di
lingkungan peradilan tata usaha negara.
|
(3)
|
Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat
Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan
Keberatan tersebut.
|
(4)
|
Dihapus.
|
(4a)
|
Apabila
diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur
Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi
dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan.
|
(5)
|
Dihapus.
|
(5a)
|
Dalam hal
Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah
pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan
1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
|
(5b)
|
Jumlah pajak
yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
|
(5c)
|
Jumlah pajak
yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak
yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.
|
(5d)
|
Dalam hal
permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak
berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.
|
(6)
|
Badan
peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat (2)
diatur dengan undang-undang.
|
Penjelasan Pasal
27
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Dihapus.
Ayat
(4a)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Dihapus.
Ayat
(5a)
Ayat ini
mengatur bahwa bagi Wajib Pajak yang mengajukan banding, jangka waktu pelunasan
pajak yang diajukan banding tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak
tanggal penerbitan Putusan Banding. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak
menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang
belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.
Ayat
(5b)
Cukup
jelas.
Ayat
(5c)
Cukup
jelas.
Ayat
(5d)
Dalam hal
permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah pajak
berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan
apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib
Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen)
sebagaimana dimaksud pada ayat ini.
Contoh:
Untuk
tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak
yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A.
Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak
yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi
sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan
keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian
keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi
sebesar Rp750.000.000,00.
Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan
permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang
masih harus dibayar menjadi sebesar Rp450.000.000,00. Dalam hal ini baik sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur
dalam Pasal 19 maupun sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur dalam
Pasal 25 ayat (9) tidak dikenakan. Namun, Wajib Pajak dikenai sanksi
administrasi berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 100% x
(Rp450.000.000,00 - Rp200.000.000,00) = Rp250.000.000,00.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Pasal 27A (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Apabila
pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali
dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar
sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak,
kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar
2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan
ketentuan sebagai berikut:
| |
|
a.
|
untuk Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak
sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali; atau
|
|
b.
|
untuk Surat
Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak
tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan
Kembali.
|
(1a)
|
Imbalan bunga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
| |
|
a.
|
untuk Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak
sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan
Pajak;
|
|
b.
|
untuk Surat
Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak
tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
|
|
c.
|
untuk Surat
Tagihan Pajak dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan
Pajak.
|
(2)
|
Imbalan bunga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi
administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan/atau
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berdasarkan Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh
permohonan Wajib Pajak.
| |
(3)
|
Tata
cara penghitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan
bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 27A
Ayat (1)
Imbalan bunga diberikan berkenaan dengan Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak
Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak.
Ayat (1a)
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, pengurangan,
atau pembatalan atas surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang
keputusannya mengabulkan sebagian atau seluruhnya, selama jumlah pajak yang
masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam surat ketetapan pajak atau Surat
Tagihan Pajak telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan
pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Ayat (2)
Imbalan bunga juga diberikan terhadap pembayaran lebih Surat Tagihan
Pajak yang telah diterbitkan berdasarkan Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (1)
sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, yang memperoleh pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi berupa denda atau bunga.
Pengurangan atau penghapusan yang dimaksud merupakan akibat dari adanya
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan tersebut, yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib
Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
BAB
VI
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 28 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak
badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
|
(2)
|
Wajib Pajak
yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas.
|
(3)
|
Pembukuan
atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik
dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
|
(4)
|
Pembukuan
atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf
Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia
atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
|
(5)
|
Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel
akrual atau stelsel kas.
|
(6)
|
Perubahan
terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari
Direktur Jenderal Pajak.
|
(7)
|
Pembukuan
sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung
besarnya pajak yang terutang.
|
(8)
|
Pembukuan
dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri
Keuangan.
|
(9)
|
Pencatatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan secara
teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto
sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan
yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
|
(10)
|
Dihapus.
|
(11)
|
Buku,
catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen
lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10
(sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib
Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
|
(12)
|
Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode
pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau
rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan:
a.
|
stelsel
pengakuan penghasilan;
|
b.
|
tahun
buku;
|
c.
|
metode
penilaian persediaan; atau
|
d.
|
metode
penyusutan dan amortisasi.
|
Stelsel
akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti
penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang.
Jadi,
tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar
secara tunai.
Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan
berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya
dipakai dalam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha
tertentu seperti build operate and
transfer (BOT) dan real estat.
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas
penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.
Menurut stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan
apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu
serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara
tunai dalam suatu periode tertentu.
Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau
perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang
waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung
lama. Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa
ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya
ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi lain
dibayar.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan
yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke
tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh
karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus
memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut:
1)
|
Penghitungan jumlah penjualan dalam
suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang
bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh
pembelian dan persediaan.
|
2)
|
Dalam
memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak- hak yang dapat diamortisasi,
biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui
penyusutan dan amortisasi.
|
3)
|
Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas
(konsisten).
|
Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat
juga dinamakan stelsel campuran.
Ayat (6)
Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus
sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode
pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan
aktiva tetap, dan metode penilaian persediaan. Namun, perubahan metode pembukuan
masih dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur
Jenderal Pajak. Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur
Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan
menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin
timbul dari perubahan tersebut.
Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip
taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau
sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan
biaya itu sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan
penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.
Contoh:
Wajib Pajak dalam tahun 2008 menggunakan metode penyusutan garis lurus
atau straight line method. Jika dalam tahun 2009 Wajib Pajak bermaksud mengubah
metode penyusutan aktiva dengan menggunakan metode penyusutan saldo menurun atau
declining balance method, Wajib Pajak harus minta persetujuan terlebih dahulu
kepada Direktur Jenderal Pajak yang diajukan sebelum dimulainya tahun buku 2009
dengan menyebutkan alasan dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat
dari perubahan tersebut.
Selain itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat berubahnya
jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu, perubahan
tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender kecuali Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender, penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan menggunakan tahun yang di
dalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih.
Contoh:
a.
|
Tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah Tahun Pajak
2008.
|
b.
|
Tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009 adalah Tahun
Pajak 2009.
|
Ayat (7)
Pengertian pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 29. Pengaturan
dalam ayat ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung
besarnya pajak yang terutang.
Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga
harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus
mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau
nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem
yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi
Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan
lain.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan
penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan
dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai penghasilan
bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak Penghasilan.
Di
samping itu, pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak
dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
Ayat (10)
Dihapus.
Ayat (11)
Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program
aplikasi on-line dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia.
Hal itu dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat
ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada
dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku,
catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai
dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara
program aplikasi on-line harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan,
kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.
Ayat
(12)
Cukup
jelas.
Pasal 29 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
| |
(2)
|
Untuk
keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa
dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada
Wajib Pajak yang diperiksa.
| |
(3)
|
Wajib Pajak
yang diperiksa wajib:
| |
|
a.
|
memperlihatkan dan/atau meminjamkan
buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas
Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
|
|
b.
|
memberikan
kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi
bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
|
|
c.
|
memberikan keterangan lain
yang diperlukan.
|
(3a)
|
Buku,
catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu)
bulan sejak permintaan disampaikan.
| |
(3b)
|
Dalam hal
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sehingga tidak dapat
dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak tersebut dapat
dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
| |
(4)
|
Apabila dalam
mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta,
Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban
untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
Penjelasan Pasal
29
Ayat
(1)
Direktur
Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
berwenang melakukan pemeriksaan untuk:
a.
|
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak;
dan/atau
|
b.
|
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
|
Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di
tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya
dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis pajak,
baik untuk tahun-tahun yang lalu maupun untuk tahun berjalan.
Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap
instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong
pajak.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban
perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat
Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan
lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib
Pajak.
Selain itu, pemeriksaan dapat juga dilakukan untuk tujuan lain, di
antaranya:
a.
|
pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara
jabatan;
|
b.
|
penghapusan Nomor Pokok Wajib
Pajak;
|
c.
|
pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak;
|
d.
|
Wajib
Pajak mengajukan keberatan;
|
e.
|
pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto;
|
f.
|
pencocokan data dan/atau alat keterangan;
|
g.
|
penentuan
Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
|
h.
|
penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan
Nilai;
|
i.
|
pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
|
j.
|
penentuan
saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan;
dan/atau
|
k.
|
pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda.
|
Ayat (2)
Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas identitasnya.
Oleh karena itu, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan
dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan, serta memperlihatkannya kepada
Wajib Pajak yang diperiksa. Petugas pemeriksa harus menjelaskan tujuan
dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
Petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan
memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam menjalankan tugasnya,
petugas pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh
pengertian, sopan, dan objektif serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan
tercela.
Pendapat dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang
kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Petugas pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak yang diperiksa
sebagaimana dimaksud pada ayat ini disesuaikan dengan tujuan dilakukannya
pemeriksaan baik dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
maupun untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Apabila Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan dengan
menggunakan proses pengolahan data secara elektronik (electronic data
processing/EDP), baik yang diselenggarakan sendiri maupun yang diselenggarakan
melalui pihak lain, Wajib Pajak harus memberikan akses kepada petugas pemeriksa
untuk mengakses dan/atau mengunduh data dari catatan, dokumen, dan dokumen lain
yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan
bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak.
Berdasarkan ayat ini Wajib Pajak yang diperiksa juga memiliki kewajiban
memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang
merupakan tempat penyimpanan dokumen, uang, dan/atau barang yang dapat memberi
petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan melakukan peminjaman dan/atau
pemeriksaan di tempat-tempat tersebut.
Dalam hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain buku,
catatan, dan dokumen lain, Wajib Pajak harus memberikan keterangan lain yang
dapat berupa keterangan tertulis dan/atau keterangan lisan.
Keterangan tertulis misalnya:
a.
|
surat pernyataan tidak
diaudit oleh Kantor Akuntan Publik;
|
b.
|
keterangan bahwa fotokopi
dokumen yang dipinjamkan sesuai dengan aslinya;
|
c.
|
surat pernyataan tentang
kepemilikan harta; atau
|
d.
|
surat pernyataan tentang
perkiraan biaya hidup.
|
Keterangan
lisan misalnya:
a.
|
wawancara tentang proses pembukuan
Wajib Pajak;
|
b.
|
wawancara tentang proses produksi
Wajib Pajak; atau
|
c.
|
wawancara dengan manajemen
tentang transaksi-transaksi yang bersifat
khusus.
|
Ayat
(3a)
Cukup
jelas.
Ayat
(3b)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Untuk
mencegah adanya dalih bahwa Wajib Pajak yang sedang diperiksa terikat pada
kerahasiaan sehingga pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan
lain yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak maka ayat ini
menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.
Pasal 29A (UU No. 28 Tahun
2007)
Terhadap
Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan
efektif oleh badan pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat Pemberitahuan
dengan dilampiri Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan
pendapat Wajar Tanpa Pengecualian yang:
a.
|
Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib
Pajak menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B;
atau
|
b.
|
terpilih untuk diperiksa
berdasarkan analisis risiko
|
dapat
dilakukan pemeriksaan melalui Pemeriksaan Kantor.
Penjelasan Pasal 29A
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak
yang mendaftarkan sahamnya di bursa efek, yaitu dalam hal Wajib Pajak dilakukan
pemeriksaan, pemeriksaannya dapat melalui Pemeriksaan Kantor. Dengan Pemeriksaan
Kantor, proses pemeriksaan menjadi lebih sederhana dan cepat penyelesaiannya
sehingga Wajib Pajak semakin cepat mendapatkan kepastian hukum, dibandingkan
melalui Pemeriksaan Lapangan.
Mengingat pemeriksaan dapat dilakukan melalui Pemeriksaan Kantor dan
jangka waktu pemeriksaannya cukup singkat, Direktur Jenderal Pajak melalui Wajib
Pajak dapat meminta kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan
Publik.
Pasal 30 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta
barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b.
|
(2)
|
Tata
cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 30
Ayat (1)
Dalam pemeriksaan dapat ditemukan adanya Wajib Pajak yang tidak memenuhi
ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b, yakni tidak memberikan
kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang
perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. Keadaan tersebut dapat
disebabkan oleh berbagai hal, misalnya, Wajib Pajak tidak berada di tempat atau
sengaja tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau
ruang yang dipandang perlu dan tidak memberi bantuan guna kelancaran
pemeriksaan.
Wajib Pajak yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak memberi
kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat, ruang, dan barang bergerak
dan/atau tidak bergerak, serta mengakses data yang dikelola secara elektronik
atau tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan dianggap menghalangi
pelaksanaan pemeriksaan.
Dalam hal demikian, untuk memperoleh buku, catatan, dokumen termasuk
data yang dikelola secara elektronik dan benda-benda lain yang dapat memberi
petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa
dipandang perlu memberi kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak yang
dilaksanakan oleh pemeriksa untuk melakukan penyegelan terhadap tempat, ruang,
dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak.
Penyegelan merupakan upaya terakhir pemeriksa untuk mernperoleh atau
mengamankan buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara
elektronik, dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa agar tidak dipindahkan,
dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau
dipalsukan.
Penyegelan data elektronik dilakukan sepanjang tidak menghentikan
kelancaran kegiatan operasional perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal 31 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Tata
cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Tata cara
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang
pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk
hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan.
|
(3)
|
Apabila dalam
pelaksanaan pemeriksaan Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) sehingga penghitungan penghasilan kena pajak
dilakukan secara jabatan, Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak kepada
Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas
waktu yang ditentukan.
|
Penjelasan Pasal
31
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Untuk
lebih memberikan keseimbangan hak kepada Wajib Pajak dalam menanggapi temuan
hasil pemeriksaan, dalam tata cara pemeriksaan tersebut, antara lain, mengatur
kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak
dan memberikan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil
Pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir
dalam batas waktu yang ditentukan, hasil pemeriksaan ditindaklanjuti sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
BAB
VII
KETENTUAN KHUSUS
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 32 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Dalam
menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal:
| |
|
a.
|
badan oleh
pengurus;
|
|
b.
|
badan
yang dinyatakan pailit oleh kurator;
|
|
c.
|
badan
dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan;
|
|
d.
|
badan
dalam likuidasi oleh likuidator;
|
|
e.
|
suatu
warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya
atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
|
|
f.
|
anak
yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau
pengampunya.
|
(2)
|
Wakil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau
secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat
membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam
kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak
yang terutang tersebut.
| |
(3)
|
Orang pribadi
atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
| |
(3a)
|
Persyaratan
serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
| |
(4)
|
Termasuk
dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau
mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.
|
Penjelasan Pasal
32
Ayat
(1)
Dalam
Undang-Undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan yang dinyatakan pailit,
badan dalam pembubaran, badan dalam likuidasi, warisan yang belum dibagi, dan
anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak
tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya karena mereka
tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum
tersebut.
Ayat
(2)
Ayat ini
menegaskan bahwa wakil Wajib Pajak yang diatur dalam Undang-Undang ini
bertanggung jawab secara pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang
terutang.
Pengecualian dapat dipertimbangkan
oleh Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib Pajak dapat membuktikan dan
meyakinkan bahwa dalam kedudukannya, menurut kewajaran dan kepatutan, tidak
mungkin dimintai pertanggungjawaban.
Ayat
(3)
Ayat ini
memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan
pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas
namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Bantuan
tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak
Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Yang
dimaksud dengan "kuasa" adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak
untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib
Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Ayat
(3a)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Orang yang
nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil
keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang
menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya
walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang
tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, termasuk dalam pengertian
pengurus. Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi komisaris dan pemegang saham
mayoritas atau pengendali.
Pasal 33 (UU No. 28
Tahun 2007)
Dihapus.
Penjelasan Pasal 33
Dihapus.
Pasal 34 (UU No. 28
Tahun 2007)
(1)
|
Setiap
pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui
atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau
pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
| |
(2)
|
Larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
| |
(2a)
|
Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
adalah:
| |
|
a.
|
pejabat dan
tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang
pengadilan; atau
|
|
b.
|
pejabat
dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan
keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang
melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
|
(3)
|
Untuk
kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada
pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) supaya memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis
dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
| |
(4)
|
Untuk
kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas
permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata,
Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk
memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada
padanya.
| |
(5)
|
Permintaan
hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama tersangka atau
nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau
perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang
diminta.
|
Penjelasan Pasal
34
Ayat
(1)
Setiap
pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang
perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut
masalah perpajakan, antara lain:
a.
|
Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan
oleh Wajib Pajak;
|
b.
|
data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan
pemeriksaan;
|
c.
|
dokumen
dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat
rahasia;
|
d.
|
dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkenaan.
|
Ayat (2)
Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan
adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan
kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (2a)
Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan
informasi yang bersifat umum tentang perpajakan.
Identitas Wajib Pajak meliputi:
1.
|
nama Wajib
Pajak;
|
2.
|
Nomor
Pokok Wajib Pajak;
|
3.
|
alamat
Wajib Pajak;
|
4.
|
alamat
kegiatan usaha;
|
5.
|
merek
usaha; dan/atau
|
6.
|
kegiatan
usaha Wajib Pajak.
|
Informasi yang bersifat
umum tentang perpajakan meliputi:
a.
|
penerimaan
pajak secara nasional;
|
b.
|
penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau
per Kantor Pelayanan Pajak;
|
c.
|
penerimaan
pajak per jenis pajak;
|
d.
|
penerimaan pajak per klasifikasi lapangan
usaha;
|
e.
|
jumlah
Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar;
|
f.
|
register
permohonan Wajib Pajak;
|
g.
|
tunggakan pajak secara nasional; dan/atau
|
h.
|
tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau
per Kantor Pelayanan Pajak.
|
Ayat (3)
Untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan,
atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lain,
keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan
atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan.
Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus
dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat, ahli,
atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan
bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan
secara terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Menteri
Keuangan.
Ayat (4)
Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara
pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan
peradilan, Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban
kerahasiaan kepada pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) atas permintaan tertulis hakim ketua sidang.
Ayat (5)
Ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan perpajakan
yang diminta hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau
peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka
yang bersangkutan.
Pasal 35 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Apabila dalam
menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan
keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak,
kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan
dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari
Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau
bukti yang diminta.
|
(2)
|
Dalam hal
pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban
merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan,
kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis
dari Menteri Keuangan.
|
(3)
|
Tata cara
permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh kewajiban
merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
35
Ayat
(1)
Untuk
menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, atas permintaan
tertulis Direktur Jenderal Pajak, pihak ketiga yaitu bank, akuntan publik,
notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang
mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan
pajak atau penagihan pajak atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
harus memberikan keterangan atau bukti-bukti yang diminta.
Yang
dimaksud dengan "konsultan pajak" adalah setiap orang yang dalam lingkungan
pekerjaannya secara bebas memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat
(2)
Untuk
kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan
berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan
dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan
keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal 35A (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Setiap
instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data
dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
|
(2)
|
Dalam hal
data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur
Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan
penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
|
Penjelasan Pasal
35A
Ayat
(1)
Dalam
rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi
penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan
perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak
lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi
dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat
menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau
kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data
transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan
dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar
Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam
rangka pelaksanaan ketentuan ini, sumber, jenis, dan tata cara penyampaian data
dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Ayat
(2)
Apabila
data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang diberikan oleh instansi
pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain belum mencukupi, untuk kepentingan
penerimaan negara, Direktur Jenderal Pajak dapat menghimpun data dan informasi
yang berkaitan dengan perpajakan sehubungan dengan terjadinya suatu peristiwa
yang diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
dengan memperhatikan ketentuan tentang kerahasiaan atas data dan informasi
dimaksud.
Pasal 36 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak
dapat:
| ||
|
a.
|
mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda,
dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak
atau bukan karena kesalahannya;
| |
|
b.
|
mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak
benar;
| |
|
c.
|
mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau
| |
|
d.
|
membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari
hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
| |
|
|
1.
|
penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan;
atau
|
|
|
2.
|
pembahasan
akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
|
(1a)
|
Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat
diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.
| ||
(1b)
|
Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak
1 (satu) kali.
| ||
(1c)
|
Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus memberi keputusan
atas permohonan yang diajukan.
| ||
(1d)
|
Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) telah lewat tetapi Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan.
| ||
(1e)
|
Apabila
diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan
secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan
sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1c).
| ||
(2)
|
Ketentuan
pelaksanaan ayat (1), ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c), ayat (1d), dan ayat (1e)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
36
Ayat
(1)
Dalam
praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak
tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib
Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal
demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah
ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Selain
itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak
dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat
ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan
keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat
keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material
terpenuhi.
Demikian
juga, atas Surat Tagihan Pajak yang tidak benar dapat dilakukan pengurangan atau
pembatalan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan
Wajib Pajak.
Dalam
rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur Jenderal
Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan
hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan
hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan
Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir
hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib
Pajak tidak dapat dipertimbangkan.
Ayat
(1a)
Cukup
jelas.
Ayat
(1b)
Cukup
jelas.
Ayat
(1c)
Cukup
jelas.
Ayat
(1d)
Cukup
jelas.
Ayat
(1e)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal 36A (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Pegawai pajak
yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak
tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
(2)
|
Pegawai pajak
yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat
diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang melakukan
pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
(3)
|
Pegawai pajak
yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman
kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam
dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
|
(4)
|
Pegawai pajak
yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan
menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk
membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
perubahannya.
|
(5)
|
Pegawai pajak
tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam
melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
Penjelasan Pasal
36A
Ayat
(1)
Dalam
rangka mengamankan penerimaan negara dan meningkatkan profesionalisme pegawai
pajak dalam melaksanakan ketentuan undang-undang perpajakan, terhadap pegawai
pajak yang dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai
dengan undang-undang sehingga mengakibatkan kerugian pada pendapatan Negara
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat
(2)
Ayat ini
mengatur pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak, misalnya apabila pegawai
pajak melakukan pelanggaran di bidang kepegawaian, pegawai pajak dapat diadukan
karena telah melanggar peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Apabila pegawai pajak dianggap melakukan tindak pidana, pegawai pajak dapat
diadukan karena telah melakukan tindak pidana. Demikian juga, apabila pegawai
pajak melakukan tindak pidana korupsi, pegawai pajak dapat diadukan karena
melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam
keadaan demikian, Wajib Pajak dapat mengadukan pelanggaran yang dilakukan
pegawai pajak tersebut kepada unit internal Departemen Keuangan.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Pegawai
pajak dalam melaksanakan tugasnya dianggap berdasarkan iktikad baik apabila
pegawai pajak tersebut dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari
keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang
berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme.
Pasal 36B (UU No. 28
Tahun 2007)
(1)
|
Menteri Keuangan berkewajiban untuk membuat kode etik pegawai Direktorat
Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Pegawai
Direktorat Jenderal Pajak wajib mematuhi kode etik pegawai Direktorat Jenderal
Pajak.
|
(3)
|
Pengawasan
pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran kode etik pegawai Direktorat
Jenderal Pajak dilaksanakan oleh Komite Kode Etik yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
36B
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal 36C (UU No. 28
Tahun 2007)
Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal
36C
Cukup jelas.
Pasal 36D (UU No. 28
Tahun 2007)
(1)
|
Direktorat Jenderal Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian
kinerja tertentu.
|
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
|
(3)
|
Tata
cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal 36D
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan
oleh Pemerintah dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi
masalah keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 37
(UU No. 16
Tahun 2000)
Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga,
denda, dan kenaikan, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 37
Sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan, nilai uang akan dapat
berubah-ubah. Karena itu undang-undang memberikan wewenang kepada Pemerintah
apabila diperlukan dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengubah dan
menyesuaikan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda,
dan kenaikan, sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan.
Pasal 37A (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Wajib Pajak
yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar
menjadi lebih besar dan dilakukan paling lambat tangal 28 Pebruari
2009, dapat diberikan
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan
pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. (Perpu No. 5 Tahun
2008)
|
(2)
|
Wajib Pajak
orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang
ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang
dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak
dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang
menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar
atau menyatakan lebih bayar.
|
Penjelasan Pasal
37A
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
BAB
VIII
KETENTUAN PIDANA
KETENTUAN PIDANA
Pasal 38 (UU No. 28 Tahun
2007)
Setiap orang
yang karena kealpaannya:
a.
|
tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
|
b.
|
menyampaikan
Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak
benar
|
sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut
merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga)
bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
Penjelasan Pasal
38
Pelanggaran terhadap kewajiban
perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan
administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan surat
ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak
pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana.
Perbuatan
atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran
administrasi melainkan merupakan tindak pidana di bidang
perpajakan.
Dengan
adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran Wajib Pajak untuk
mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Kealpaan
yang dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati,
atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Pasal 39 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Setiap orang yang dengan sengaja:
| |
|
a.
|
tidak
mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
|
|
b.
|
menyalahgunakan atau menggunakan
tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak;
|
|
c.
|
tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan;
|
|
d.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap;
|
|
e.
|
menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29;
|
|
f.
|
memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya;
|
|
g.
|
tidak
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan
atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
|
|
h.
|
tidak
menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang
dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line
di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
|
|
i.
|
tidak
menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
|
|
sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan
paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar.
| |
(2)
|
Pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua)
kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang
perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani
pidana penjara yang dijatuhkan.
| |
(3)
|
Setiap orang
yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau
menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat
Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan
restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan
dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat)
kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang
dilakukan.
|
Penjelasan Pasal
39
Ayat
(1)
Perbuatan
atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja
dikenai sanksi yang berat mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam
penerimaan negara.
Dalam
perbuatan atau tindakan ini termasuk pula setiap orang yang dengan sengaja tidak
mendaftarkan diri, menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib
Pajak, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak.
Ayat
(2)
Untuk
mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan, bagi mereka
yang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu)
tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang
dijatuhkan, dikenai sanksi pidana lebih berat, yaitu ditambahkan 1 (satu) kali
menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana yang diatur pada ayat (1).
Ayat
(3)
Penyalahgunaan atau penggunaan
tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau
penyampaian Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam
rangka mengajukan permohonan restitusi pajak dan/atau kompensasi pajak atau
pengkreditan pajak yang tidak benar sangat merugikan negara. Oleh karena itu, percobaan
melakukan tindak pidana tersebut merupakan delik tersendiri.
Pasal 39A (UU No. 28 Tahun
2007)
Setiap orang yang dengan sengaja:
a.
|
menerbitkan
dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan
pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang
sebenarnya; atau
|
b.
|
menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak
|
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam
faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti
setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak,
bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran
pajak.
Penjelasan Pasal
39A
Faktur
pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat
penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai. Demikian juga bukti
pemotongan pajak dan bukti pemungutan pajak merupakan sarana untuk pengkreditan
atau pengurangan pajak terutang sehingga setiap penyalahgunaan faktur pajak,
bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak
dapat mengakibatkan dampak negatif dalam keberhasilan pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, penyalahgunaan
tersebut berupa penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak, bukti pemotongan
pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak
berdasarkan transaksi yang sebenarnya dikenai sanksi pidana.
Pasal 40 (UU No. 6 Tahun
1983)
Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terhutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 40
Tindak pidana di bidang perpajakan daluwarsa 10 (sepuluh) tahun, dari
sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau
Tahun Pajak yang bersangkutan. Hal tersebut dimaksudkan guna
memberikan suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum dan Hakim.
Jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut adalah untuk menyesuaikan dengan
daluwarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan dasar
penghitungan jumlah pajak yang terutang, selama 10 (sepuluh)
tahun.
Pasal 41 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Pejabat yang
karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
|
(2)
|
Pejabat yang
dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak
dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
|
(3)
|
Penuntutan
terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya
dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
|
Penjelasan Pasal
41
Ayat
(1)
Untuk
menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada
pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak
ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan, perlu adanya
sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan terjadinya
pengungkapan kerahasiaan tersebut.
Pengungkapan kerahasiaan
sebagaimana dimaksud pada ayat ini dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai,
tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan
keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh
Undang-Undang Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut, pelaku dihukum
dengan hukuman yang setimpal.
Ayat
(2)
Perbuatan
atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja
dikenai sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan yang
dilakukan karena kealpaan agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati
untuk tidak melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.
Ayat
(3)
Tuntutan
pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang
atau badan selaku Wajib Pajak.
Pasal 41A (UU No. 28 Tahun
2007)
Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Penjelasan Pasal
41A
Agar pihak
ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam
Pasal 35 maka perlu adanya sanksi bagi pihak ketiga yang melakukan perbuatan
atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini.
Pasal 41B (UU No. 28
Tahun 2007)
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
Penjelasan Pasal
41B
Seseorang
yang melakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan, misalnya menghalangi penyidik melakukan penggeledahan
dan/atau menyembunyikan bahan bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dikenai
sanksi pidana.
Pasal 41C (UU No. 28
Tahun 2007)
(1)
|
Setiap orang
yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
|
(2)
|
Setiap orang
yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
|
(3)
|
Setiap orang
yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh
Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
|
(4)
|
Setiap orang
yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga
menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
|
Penjelasan Pasal
41C
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal 42 (UU No. 9 Tahun
1994)
Dihapus.
Penjelasan Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43 (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil,
kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang
turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan.
|
(2)
|
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang
menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan.
|
Penjelasan Pasal
43
Ayat
(1)
Yang
dipidana karena melakukan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan tidak
terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, kuasa Wajib Pajak, pegawai Wajib
Pajak, Akuntan Publik, Konsultan Pajak, atau pihak lain, tetapi juga terhadap
mereka yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan,
atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
BAB
IX
PENYIDIKAN
PENYIDIKAN
Pasal 43A (UU No. 28 Tahun
2007)
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang
melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan.
|
(2)
|
Dalam hal
terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang menyangkut petugas
Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangan dapat menugasi unit pemeriksa
internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti
permulaan.
|
(3)
|
Apabila dari
bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat
Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak
Pidana Korupsi.
|
(4)
|
Tata cara
pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
|
Penjelasan Pasal
43A
Ayat
(1)
Informasi,
data, laporan, dan pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak akan
dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen atau pengamatan yang
hasilnya dapat ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan,
atau tidak ditindaklanjuti.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 44 (UU No. 28
Tahun 2007)
(1)
|
Penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi
wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.
| |
(2)
|
Wewenang
penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
| |
|
a.
|
menerima,
mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi
lebih lengkap dan jelas;
|
|
b.
|
meneliti,
mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang
kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
|
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
|
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana
di bidang perpajakan;
|
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti
tersebut;
|
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan;
|
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang,
benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
|
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
|
|
j.
|
menghentikan
penyidikan; dan/atau
|
|
k.
|
melakukan
tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
(3)
|
Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
| |
(4)
|
Dalam rangka
pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik
dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.
|
Penjelasan Pasal
44
Ayat
(1)
Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang
diangkat sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan oleh pejabat yang
berwenang adalah penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Ayat (2)
Pada ayat
ini diatur wewenang Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan,
termasuk melakukan penyitaan. Penyitaan tersebut dapat dilakukan, baik terhadap
barang bergerak maupun tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang, dan surat
berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau pihak lain yang telah
ditetapkan sebagai tersangka.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal 44A (UU No. 9 Tahun
1994)
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf j dalam hal tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia.
Penjelasan Pasal
44A
Dalam hal
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dihentikan kecuali karena
peristiwanya telah daluwarsa, maka surat ketetapan pajak tetap dapat
diterbitkan.
Pasal 44B (UU No. 28
Tahun 2007)
(1)
|
Untuk
kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung
dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
|
(2)
|
Penghentian
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang
dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi
administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau
kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
|
Penjelasan Pasal
44B
Ayat
(1)
Untuk
kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung
dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara pidana
tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
BAB
X
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
(UU
No. 6 Tahun 1983)
Terhadap pajak-pajak yang terhutang pada suatu saat, untuk Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang berakhir sebelum saat berlakunya
Undang-Undang ini, tetap berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang lama, sampai dengan tanggal 31 Desember 1988.
Penjelasan Pasal 45
Meskipun Undang-Undang Perpajakan yang lama telah dicabut dengan
diundangkannya Undang-Undang ini, untuk menampung penyelesaian penetapan
pajak-pajak terutang pada masa atau tahun pajak sebelum berlakunya Undang-Undang
ini, yang pelaksanaannya masih berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan lama, maka Undang-Undang ini menentukan jangka
waktu berlakunya peraturan perundang-undangan lama sampai dengan tanggal 31
Desember 1988. Penentuan jangka waktu lima tahun tersebut disesuaikan dengan
daluwarsa penagihan pajak.
Pasal 46 (UU No. 6 Tahun
1983)
Dengan berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan pelaksanaan di bidang perpajakan yang lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Penjelasan Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47 (UU No. 9 Tahun
1994)
Dihapus.
Penjelasan Pasal 47
Ketentuan pasal ini dihapus, karena secara substantif merupakan materi
dari Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan dan telah diatur dalam
Undang-Undang tersebut.
Pasal 47A (UU No. 16
Tahun 2000)
Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 1995 sampai dengan Tahun Pajak 2000, diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 sebelum dilakukan perubahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.
Penjelasan Pasal 47A
Dalam rangka memberikan kepastian kepada Wajib Pajak maka mengenai hak
dan kewajiban perpajakan yang belum diselesaikan untuk tahun pajak 2000 dan
sebelumnya tetap diberlakukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1994.
BAB
XI
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 48 (UU No. 6 Tahun
1983)
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 48
Untuk menampung hal-hal yang belum cukup diatur mengenai tata cara atau
kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-Undang ini, diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian lebih mudah mengadakan
penyesuaian pelaksanaan Undang-Undang ini dan tata cara yang
diperlukan.
Pasal 49 (UU No. 6 Tahun
1983)
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku pula bagi Undang-Undang
perpajakan lainnya kecuali apabila ditentukan lain.
Penjelasan Pasal
49
Cukup
jelas.
Catatan
:
1.
|
Terhadap semua hak dan
kewajiban perpajakan tahun 1994 dan sebelumnya, diberlakukan ketentuan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebelum dilakukan perubahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994.
(sesuai dengan bunyi Pasal II Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan).
|
2.
|
Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 1995 sampai
dengan Tahun Pajak 2000, diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 sebelum dilakukan perubahan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.
(sesuai dengan bunyi Pasal 47A Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan).
|
3.
|
Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai
dengan Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000.
(sesuai dengan bunyi Pasal II Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan).
|
4.
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 3, daluwarsa
penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan
sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau
Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak 2013.
(sesuai dengan bunyi Pasal II Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan).
|
5.
|
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008.
(sesuai dengan bunyi Pasal II Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan).
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar